Aku kebingungan mencari mukena yang kukenakan setiap shalat fardhu tiba. Entah kemana dan di mana mukena itu.Â
"Sudahlah, bu. Ibu kenakan mukena yang sudah kubelikan saja. Biar lebih pantes..." ucap Laras, anakku.
Mukena yang kucari beberapa minggu ini memang sudah lusuh. Tak layak jika dikenakan untuk shalat, apalagi ketika berjamaah di masjid. Berulang kali Laras dan adik- adiknya memprotesku.
"Seperti tak punya mukena yang lebih layak saja, bu..." ujar Adnan, putra bungsuku.
"Kalau ibu masih saja mengenakan mukena itu, bikin malu kami, bu..."Â
Aku tak ambil pusing dengan ucapan anak- anakku. Mereka memang sudah mentas, sudah menjadi orang sukses. Alhamdulillah. Aku sangat mensyukurinya. Sebagai orang tak berada ternyata bisa mengantarkan anak- anak menjadi orang yang berhasil.Â
Mereka berlomba- lomba untuk membahagiakan aku. Entah aku nyaman atau tidak, mereka tak peduli. Mereka ingin mengajakku tinggal di rumahnya, kutolak.
"Kenapa, bu? Rumah ibu sudah tua, kalau hujan atapnya sering bocor kan?"
"Lihatlah kusen pintu kamar ibu, sudah lapuk, bu..."
Mereka mencoba untuk meluluhkan hatiku. Aku tahu, mereka ingin berbakti padaku mengingat hanya tinggal aku yang bisa mereka rawat. Bapaknya sudah tiada dua tahun yang lalu. Mereka tak tega untuk meninggalkanku sendirian di rumah peninggalan mendiang bapaknya.
"Kalau begitu, kalian temani ibu saja. Sesempat kalian..."