"Selamat pagi, selamat beraktivitas", sapa yang masuk lewat pesan WA. Sungguh sapa itu berarti untukku. Bukan untuk saat ini. Tetapi berarti waktu dulu.
Tak ku gubris sapaan itu pada awalnya. Masih ada lanjutan sapaan pagi itu, "Awali hari dengan bismillah".
"Tanpa sapamu itu aku sudah ngelakuin itu semua", batinku. Aku congkak, sombong ataukah merasa jengkel dengan sapa itu. Aku akan membela diri, itu bukan kesombonganku. Aku merasa sebal dengan pengirimnya. Sok kenal sok dekat.
***
Meski sapa pagi dari masa lalu tak ada lagi, ku ingat bahwa hari ini jelang hari lahirnya.
"Selamat ulang tahun, semoga bahagia, bersama anak dan istrimu", doaku dalam hati.
***
Tapi ku sadari bahwa sapaan pagi seperti itu membuatku harus lebih berhati-hati mengenal orang lain. Waspada. Zaman yang penuh dengan kasus kriminal/ kejahatan, membuatku harus punya tameng untuk melindungi diri. Perempuan yang tak bisa jaga diri akan jadi korban orang yang tidak bertanggung jawab.
Kini, sapa pagiku adalah sapa dari suami dan anak-anakku. Mereka adalah penyemangatku, hari ini dan
seterusnya. Tak lelah, tak jemu sapa mereka mewarnai hidupku. Sapa mereka lebih berarti daripada sapa pagi bertahun-tahun yang lalu.
***
Sapa pagi ternyata yang mendekatkan aku dengan dia, suamiku. Teman semasa SMA. Tak ada rasa dulunya. Tapi tekad dan niatnya untuk serius membuat ku tak bisa menolak niatan itu.
Pertemuan dengannya terjadi ketika ada acara reuni plus syawalan alumni teman SMA sekelas. Di antara teman yang belum ada gandengan cuma aku dan dia. Belum menyimpan nomor WAnya juga meski masuk dalam satu grup alumni.
Teman-teman yang heboh untuk menjodohkan kami. Aku tak ambil pusing. Aku baru saja kecewa.