Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Akar Konflik

6 Juni 2018   11:48 Diperbarui: 6 Juni 2018   12:02 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ada seseorang, atau sekelompok orang, atau Partai, golongan, atau  organisasi, yang memiliki nafsu banal tentang dan terhadap kekuasaan, untuk merebutnya atau melanggengkannya. Inilah yang menjadi sumber konflik yang sesungguhnya dan yang sebenarnya, bukan yang lain.

Setiap ungkapan bahwa kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan adalah sumber konflik, itu adalah ungkapan munafik dan dalih yang canggih. Tetapi seperti itulah yang sudah ditanamkan ke benak masyarakat selama ratusan tahun, agar semua penggiat dan pemangku nafsu banal terhadap kekuasaan terhindar dari dosa konflik, atau bahkan naik pangkat menjadi "penyelamat". 

Tengok, uang yang dihabiskan untuk membahas dan membuat seminar tentang kemiskinan dan kebodohan lebih besar dari uang yang dihabiskan untuk memberantas keduanya. Pernah kalian dengar bahwa bantuan dua miliar rupiah habis 1,5 miliar untuk panitia, mulai dari biaya seminar, biaya logistik perjalanan, biaya dokumentasi, maka yang betul-betul sampai ke tempat yang membutuhkan hanya 25%.

Orang, kelompok orang, Partai, golongan, Organisasi yang memiliki nafsu banal terhadap kekuasaan, untuk merebut atau untuk melanggengkannya, dapat dan pasti menunggangi salah satu dari kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan, sebagai kuda troya untuk menerjang semua saingan menuju singgasana impian, dampar kencana yang memabukkan. Sebetulnya, agama juga sering ditunggangi dengan cara yang persis sama.

Sebuah konflik jika sampai dapat meruntuhkan sebuah rezim pastilah sesuatu yang terencana matang, tersedia logistik dalam jumlah tak terbatas, limit waktu yang terukur dan tertata, rekayasa kondisi sosial yang matang, sampai menyediakan sesuatu sebagai trigger (pemantik), dan jika perlu menyediakan seorang martir. Orang miskin yang mana yang sanggup menyediakan logistik maha banyak, dan orang bodoh mana yang sanggup merekayasa kondisi serumit itu?.... pasti tidak ada. Yang betul, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan selalu menjadi kuda tunggangan seseorang atau segolongan, sarana berpacu mengejar kekuasaan dan pedang panjang untuk melanggengkan kekuasaan jika sudah di tangan. Maka dari itu, orang miskin dan orang bodoh selalu menjadi pihak korban yang rugi.

Maka kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan, dalam level tertentu harus ada karena dibutuhkan, jadi tidak boleh dibinasakan seratus persen tuntas tas tas. Pundak orang miskin dan orang bodoh adalah tatakan, pijakan untuk meraih kekuasaan yang terantung di langit, selalu begitu buat orang atau golongan yang nafsu banalnya untuk meraih kuasa dan nafsu bejadnya untuk melanggengkan kuasa turun temurun, entah sampai turunan yang keberapa.

Orang, kelompok orang, Partai, organisasi, sebenarnya peduli hanya pada satu hal, yaitu tangan yang menggenggam kekuasaan. Bagi mereka, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan, adalah keadaan yang perlu diterimakasihi, bukan diatasi. Kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan, agama,bahkan Tuhan hanyalah tunggangan bagi golongan seperti ini. Rezim berganti rezim sepanjang masa, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan abadi sepanjang masa. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun