P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoesaan d . l . l ., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05.
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
Ttd
Teks singkat ini adalah momen awal kelahiran Republik Indonesia, itu sebabnya usia Republik Indonesia dihitung dari detik-detik Proklamasi. Hanya orang dungu dan bebal yang akan mengatakan hal lain.
Suatu hal yang sangat menarik dari teks proklamasi itu, dan saya yakin itu menceminkan visi yang sangat luar biasa dari penggagas proklamasi, yaitu bahwa proklamasi disiarkan adalah “atas nama bangsa Indonesia”. Bukan atas nama golongan tertentu, bukan atas nama suku tertentu, bukan atas nama agama tertentu, bahkan tidak atas nama Tuhan YME. Tetapi sekali lagi “atas nama bangsa Indonesia”. Itu menjadi simpul pertama yang sangat kuat untuk mengikat seluruh wilayah nusantara menjadi satu kesatuan utuh menyeluruh. Saya bingung, mengapa ahli-ahli sejarah tidak pernah memperhatikan hal ini dengan cermat, tidak pernah menganalisis makna filosofis di dalamnya.
UUD 1945 Amandemen ke-4, Pasal 6 :
‘1. Calon Presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati Negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
‘2. Syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
UU No. 23 Tahun 2003, Pasal 6, terdapat 20 butir syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada satupun yang mensyaratkan harus dari agama tertentu.
UU No. 42 Tahun 2008, terdapat 18 butir syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada satupun yang mensyaratkan harus dari agama tertentu.
Dengan semangat yang sama, saya ubek-ubek UU yang mengatur pencalonan Kepala Daerah, tak saya temukan satu ayatpun yang mensyaratkan “harus dari agama tertentu”. Jadi, di dalam sistem ketatanegaraan NKRI, syarat harus dari agama tertentu tidak pernah dicantumkan.
Sebagai warga Negara NKRI, maka yang menjadi sumber hukum utama adalah konstitusi, kemudian UU, menyusul Keppres, dan lain-lain. Kita harus dan wajib sepakat tentang hal ini, jika slogan “NKRI harga mati” yang akhir-akhir ini sangat sering dikumandangkan, itu dikumandangkan dengan jujur dan tulus dari hati nurani yang dalam.
Tetapi jika slogan “NKRI harga mati” hanya sebagai acuan sementara yang membungkus hasrat sesungguhnya untuk mengganti konstitusi, maka kami kaum minoritas hanya perlu jawaban yang sejujurnya, jawaban yang tidak dibalut kemunafikan, agar kami kaum minoritas bisa menentukan langkah selanjutnya.
Hal inilah yang menjadi masalah mendasar pada Pilkada DKI. Bukan soal Ahok dan tuduhan penistaan terhadapnya, tetapi soal konstitusi yang menjadi tali pengikat kebersamaan dalam satu wadah yang kita sebut NKRI. Pertanyaan dalam hati kaum minoritas itu bukan tentang nasib Ahok, tetapi nasib dari konstitusi yang kita sepakati itu. Betulkah konstitusi masih menjadi sumber utama hukum, hukum dalam bermasyarakat maupun hukum dalam berpolitik?
Kalau anda jawab “betul”, sambil menambahkan syarat lain yang tidak ada di konstitusi maupun UU, itu jawaban takberguna karena diselimuti kemunafikan dan keangkuhan.
Sekali lagi, sebenarnya keriuh-rendahan ini buka soal vonis terhadap Ahok, bukan tentang tuduhan penistaan. Bagi kaum minoritas, ini melulu tentang masa depan konstitusi NKRI.
Jadi jangan berpikir terlalu dangkal, bahwa semua kegaduhan ini karena Ahok dan melulu tentang Ahok. Itu pikiran sontoloyo.