Mohon tunggu...
Jonminofri Nazir
Jonminofri Nazir Mohon Tunggu... Jurnalis - dosen, penulis, pemotret, dan pesepeda, juga penikmat Transjakrta dan MRT

Menulis saja. Juga berfikir, bersepeda, dan senyum. Serta memotret.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tahun 70an Tidak ada Perempuan Berhijab, Kini Semua Berhijab. Mengapa?

16 Oktober 2019   00:44 Diperbarui: 16 Oktober 2019   11:42 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Sabtu 12 oktober 2019. Saya mengunjungi pameran Pekan Kebudayaan Nasional di istora senayan, Jakarta, bersama anak dan dua cucu keren.  Cucu laki-laki.

Di arena itu saya melihat banyak anak perempuan seusia cucu saya: 3 tahun - 7 tahun. Anak-anak itu mengenakan jilbab seperti perempuan dewasa yang mendampinginya.

Sebenarnya, di mata saya, anak kecil itu hampir semuanya lucu. Gerakannya, larinya, ekspresi, rambutnya, lambaian tangannya, senyumnya. Semua tentang anak kecil lucu dan menggemaskan.  Anak laki-laki begitu, anak perempuan pun demikian.

Tapi, ketika anak mengenakan jilbab, tidak semua kelucuan dan kegemasan itu muncul. Bahkan Ada kesan, gerakannya kurang bebas. Tangannya terhalang oleh jilbabnya. Langkah kakinya tersembunyi di balik pakaiannya Yang panjang sampai kaki.

Orang tua mereka tentu dengan sengaja mengenakan "pakaian muslim" itu ke mereka. Tujuannya, membiasakan mereka menutup aurat. Jika dilatih menutup aurat sejak kecil, kelak bila dia sudah dewasa akan terbiasa dengan hijab.

Ini berbeda dengan kebiasaan ibu-ibu di negara asal jilbab, Timur Tengah. Anak-anak mereka tidak mengenakan jilbab jika sedang berada di mal, di rumah, atau di negara lain. Pertama, panas matahari di negara lain tidak seganas matahari di negara mereka. Sedangkan di mal atau rumah, sinar matahari tidak berani masuk.

Bagi mereka, anak-anak belum kena kewajiban berhijab, seperti orang tua; jika mereka menganggap berhijab itu wajib.

Ingatan saya langsung pergi ke masa sekolah sampai kuliah.  Sampai saya lulus SMA tahun 1980, teman saya 100% tidak ada yang berjilbab.  Bahkan guru agama saya juga tidak berjilbab. Dia berkebaya, dan berselendang. Rambut kriwil-kriwilnya jelas terlihat. Sanggulnya juga kadang-kadang nongol di sela-sela selendangnya.

Selain sekolah umum, saya juga di madrasah siang atau sore mengaji di masjid. Ustazah saya juga berkebaya dan berselendang saja. Kain batik panjangnya melilit kaki hingga di atas mata kaki. Saya lupa mereka pakai selop atau sepatu. Tapi mata kaki mereka terlihat dengan jelas.

Semasa kuliah jurnalistik, teman-teman perempuan belum mengenal jilbab. Ketika saya kuliah di sastra, tahun 1982, juga tak ada yang pakai jilbab. Saya masih ingat rambut bagus Sita, Hera, Reno, Sri, dll teman seangkatan di jurusan Semit (Arab dan Ibrani). Rambut mereka bagus. Mereka sering memainkan ujung rambut sebelah wajahnya. 

Tangan kanan memilitir rambut sebelah kanan. Teman lain, menggunakan tangan kiri memilin-milin rambut di samping wajah kiri. Itu pemandangan ketika ujian. Sering begitu. Rambut mereka bagus. Hitam, panjang, dan bergelombang. Impian saya ketika itu, ingin membelai-belai rambut seorang di antara mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun