Dari studi tersebut, ditemukan bahwa Uber, Lyft dan aplikasi berbagi tumpangan lainnya yang sejenis menimbulkan kerugian bagi orang yang ingin berpergian secara cepat.
Hal ini dikarenakan bisnis tersebut membayar para pengendara yang menggunakan kendaraan yang dimilikinya sehinnga dapat meningkatkan jumlah mobil yang menutupi jalanan.
Kesimpulan tersebut coba dibuktikan kembali oleh 2 orang peneliti dari University of Kentucky dan seorang anggota San Francisco's County Transportation Authority.
Sebagai perbandingan awal, tim peneliti mencoba melihat data sinyal lalu lintas dari tahun 2010, dimana perusahaan transportasi daring, Uber belum diluncurkan dan pendahulu Lyft, Zimride baru berjalan 2 tahun. Disamping itu, pada taksi konvensional kebanggaan New York juga masih menguasai pasar.
Data tersebut dibandingkan dengan data tahun 2016, dimana sistem berbagi tumpangan bukan menjadi inovasi baru bahkan telah mencapai titik jenuh.
Dari perbandingan tersebut, terjadi peningkatan VHD (Vehicle Hours Of Delay) dari 18 menjadi 23 persen. Sebagai catatan, kedua data diambil saat pagi dan sore jam padat.
Perlu diketahui, vehicle hours of delay adalah jumlah kendaraan yang diam terjebak macet selama satu jam.
Untuk mengatasi hal tersebut, baru-baru ini New York menerapkan pajak kemacetan (congestion pricing). Hal ini menandakan New York menjadi kota pertama di Amerika Serikat yang menerapkan gagasan tersebut.
Senada dengan London yang telah menerapkan gagasan tersebut sejak 2003; Stockholm di tahun 2007; dan Milan di tahun 2013. Dengan menerapkan gagasan tersebut, New York menyetujui pemberian biaya lebih untuk berkendara di jantung Manhattan, kawasan sentral bisnis terkemuka di New York.
Misalnya, untuk melintasi terowongan Lincoln dan Holland sebelum menyeberang melalui Jembatan George Washington guna memasuki Kawasan Manhattan, para pengemudi dikenai biaya lebih $15.