Dari buku yang pernah saya baca tentang Seni Hipnosis, ada beberapa hal sederhana untuk mempengaruhi orang lain. Itulah kenapa banyak mahasiswa atau lulusan psikologi punya peran untuk menebak karakter dan kadang menyugesti orang lain. Dari luwesnya cara meminta uang dengan berbagai retorika kejadian, harusnya penipu gaib sedikit-banyak paham ilmu psikologi.
Tidak perlu berdebat untuk mendiagnosis pelaku sebagai dukun atau orang pintar, mereka adalah gerombolan psikolog yang menyalahgunakan ilmunya. Saya menunggu ditelfon penipu dan ingin sekali mengajak berdiskusi. Bahkan saya punya cita-cita menghipnotis tukang hipnotis. Namun entah kenapa penipu punya ilmu kebatinan menyelesksi orang-orang yang gampang ditupu.
Modus penipuan kerap menyasar sisi empati warga yang biasanya melekat pada keluarga. Mereka tidak langsung menjelaskan identitasnya untuk memancing pertanyaan yang diarahkan untuk menyebut salah satu keluarganya. Lama-kelamaan mengorek status dan domisili keluarga untuk dijadikan pancingan penipuan. Kalau sudah nyantol enak. Disuruh transfer berapa pun akan dipenuhi karena pikirannya sedang fokus pada kondisi keluarganya.
Kalau polisi dan yang bertanggung jawab soal kasus penipuan gaib ini agak mau bekerja harusnya pelaku mudah ditangkap. Lhawong pemerintah sudah kreatif meminta nomor kependudukan saat mendaftarkan nomer ponsel. Melacak posisi penipu gaib jelas gampang dilakukan. Itu dengan asumsi warga mau melapor dan polisi mau bekerja.
Uang lima juta mungkin sepele bagi polisi, apalagi kemenkominfo. Namun itu sangat besar bagi warga desa yang punya prinsip asal masih bisa bertahan hidup. Dapat BLT 600 ribu saja sumringah sampai bikin syukuran. Ealah nasib warga kampung yang sepanjang hidupnya tidak pernah mencicipi halusnya berkendara di jalan tol.***