Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Diksi

7 Mei 2024   23:41 Diperbarui: 7 Mei 2024   23:44 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arya Seta (sumber: gubukwayang.blogspot.com)

Ada selebgram cantik, otomatis perempuan, yang menurut celotehnya sendiri di otaknya bersemayam banyak virus yang membuat kemampuan berpikirnya melemah. Virus-virus itu tidak bisa dibunuh, hanya bisa ditidurkan, katanya. Kronologinya diungkap sedetil kemampuannya mencerna informasi. Tidak presisi, tapi tidak ada intensi menyebarkan berita bohong dalam hal itu.

Maksudnya, di dunia ini ada semacam kondisi kehamilan tidak ideal yang disebabkan faktor eksternal, misalnya akibat parasit Toxoplasma gondii yang habitatnya adalah tai kucing yang menginfeksi ibu hamil penyayang meong. Dalam hal sang selebgram, kemungkinan besar yang dimaksud adalah virus penyebab campak Jerman yang disebut Rubella. Jika bumil terpapar Rubella, janin berisiko lahir dengan beragam cacat bawaan yang disebut Congenital Rubella Syndrome (CRS) termasuk kerusakan pada otak.

Lupakan soal virus dalam otak Viorenita Sutanto, sebab dua paragraf pembuka dimaksud sekadar meluruskan informasi yang kadung viral. Yang membuatku terpana ketika ditanyakan padanya apa achievment yang ingin dicapainya, dia jawab: pengen punya banyak bayi-bayi gemoy. Ada yang kudus dalam jawabannya, ada semacam kemurnian yang langka. Ada cinta.

Entah apa sebabnya, hasrat seperti itu juga kerap datang menggangguku bila mulai menutul-nutul papan aksara (keyboard, KBBI menyulihnya jadi papan tombol, hm...) sebagai sarana onani pikiran, imajinasi, atau sekadar menjaga eksistensi. Benar, setiap kali menulis, selalu muncul dorongan kuat untuk melahirkan bayi-bayi gemoy dari rangkaian terpilih di antara lambang bunyi. Misalnya kecenderungan menggunakan diksi "onani" dalam konteks yang bukan seksual tadi. Juga pilihan yang jatuh pada "tai" alih-alih "kotoran" yang jelas kalah presisi.

Diksi, dalam anganku, seyogyanya bukan sekadar memilih tesserae (latin, entah versi Bahasanya apa, ialah anasir tunggal) untuk menyusun mozaik. Dalam hal bahasa, ia adalah aksara, tanda baca, dan lambang bunyi lain pembentuk kata atau frasa dan atau kalimat. Menentukan diksi buatku bisa dimaknai persetubuhan jamak (orgy) perbendaharaan pengetahuan, pengalaman, referensi, imajinasi, dan banyak faktor lain yang memungkinkan terjadinya kelahiran makna baru. Diksi bukan sekadar kosmetik untuk mempercantik atau kadang justru memper-rumit bunyi. Adalah kesia-siaan menggunakan diksi hanya untuk mengesankan kecanggihan (sophistication) apalagi jika membuat penulis terjebak dalam mimesis.

Gambarannya begini: ketika menulis novel dengan latar belakang dan acuan pokok kitab Mahabharata, ada situasi rumit ketika harus memilih diksi untuk menyebut bunga perdu yang tumbuh di pegunungan Himalaya (Leontopodium himalayanum). Pilihan tersedia adalah Latin (taksonomi ilmiah), English (Nobel White), atau Deutsch (Edelweiss) yang lebih populer. Sembung Langu (Jawa, Sunda) walau sering dipadankan dengan Edelweiss tidak akurat karena Edelweiss yang tumbuh di gunung-gunung di Indonesia berbeda jenis dengan Leontipodium di Himalaya.

Pilihan mudahnya adalah menggunakan Sanskrit. Tapi referensi untuk itu nyaris tidak ketemu. Bahkan, melalui komunitas google group yang juga banyak anggotanya pengguna Hindi, diketahui bahwa di kawasan Himawan (Himalaya), bunga itu pun kadung dikenal dengan nama Edelweiss. Nama lokalnya sudah dilupa.

Menggunakan fitur translate pun sia-sia sebab rangkaian aksara Dewanagari yang muncul pun sekadar transliterasi homofon dari Edelweiss. (Transliterasi homofon itu misal kata "ayam" ditransliterasi menggunakan aksara Jawa menjadi ha - ya - ma [pangku], bukan pa [wulu] - ta [wulu] - ka [pangku] dibaca: pitik yang merupakan terjemah/sulih bahasa).

Ruwet ya? Padahal hanya untuk menulis nama bunga.

Bahwa kemudian aku menemukan frasa Arya Sveta (yang nyanskrit) sebagai pengganti Edelweiss sehingga konteks terjaga, itu harus melalui proses panjang penelusuran lambang bunyi berbagai bahasa dan asimilasi historisnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun