Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Nature

Serayu Riwayatmu Kini

15 Juni 2023   21:31 Diperbarui: 15 Juni 2023   21:39 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fish Hatchery Trap alias pijahan di sungai Serayu, Jateng. Tantangan sekaligus peluang besar konservasi. Ceritanya lain kali (dokpri)

Aku pernah lihat Bengawan Solo. Jelek, lebih tepatnya kumuh. Mungkin karena sebagai tamu pelintas, aku ndak berhak atas rezeki menyaksikan spot-spot menawan sang bengawan yang terbayang bila mendengar nyanyian Gesang. Atau mungkin benar adanya bahwa nostalgia senantiasa indah, bukan muram durja seperti wajah hari esok. Entahlah.

Homo Soloensis cantik yang jadi guide kunjungan perdanaku ke kota bengawan itu coba obati kecewaku dengan pamer ikan babon-babon di taman Bale Kambang. Iya, besar-besar sih... tapi itu kan gimmick pariwisata yang dinamai Mancing Candak Culke. Lagipula, cintaku bukan pada ikan domestik macam Bawal (Silvet pompano) dan Lele Dumbo (Clarias gariepenus), ukuran jumbo pun.

Maka diajaklah aku ke Telaga Sarangan, Karanganyar yang berada di kawasan wisata Tawang Mangu. Di sana, Homo Soloensis puas menertawaiku yang menatap bodoh gerombolan Ikan Dewa (Mahseer, Tor douronensis dan T. tambroides) menari di tepian telaga. Konon, Bupati Karanganyar sengaja menebar bibit Ikan Dewa disertai perda larangan penangkspannya. Keren, sungguh!

Agak beda dengan dongeng hari ini di kampungku. Walau kemarau terlambat datang, intensitasnya yang agak eksteim tahun ini membuat wajah cantik Sungai Serayu bertambah gemilang. Di sela panas menyengat,  masih ada rinai gerimis sesekali memang, tapi itu tak cukup membuat keruh deras arus yang berkejaran di sela batuan. Bening cemerlang.

Tidak gampang menulis deskripsi Serayu hari ini, apa lagi menjadikannya bait-bait puisi. Jangan pula bermimpi mengabadikannya dalam lirik lagu. Tak ada bakat awak di situ. Jadi baiknya, kuculikkan saja sebait lirik yang ditulis Tommy Shaw (Styx, 1979) dalam "Boat on the River" sebagai bridging:

Time stand still as I gaze in her waters
She ease me down, touching me gently
With the waters that flow past my boat on the river
So I don't cry out anymore

Baiklah, agar tak berkesan meremehkan nostalgia, mari kuajak mengendarai mesin waktu imajiner, menyusuri musim kemarau-musim kemarau bertahun lalu di jeram dan lubuk Serayu. Musim panen raya. Jose von Hesselink, kawan dari negeri bunga Tulip itu menyebutnya 'open season'.

Masinis kereta api yang tiap libur musim dingin selalu datang ke kampungku itu memang angler tulen. Tukang mancing. Dan dia jatuh cinta pada Serayu, di musim kemarau tentu saja. "Mahseer-nya keren. Wadernya asyik. Bereknya fantastik," kata dia memberi alasan, "dan ceweknya cantik-cantik."

Jose pacaran dengan kawan sekolahku dulu. Cah ndeso kemayu yang sedari kecil punya cita-cita  bersuami londo. "I'll be missing you," pamit Jose bila musim liburannya habis. "Bulls**t, you miss the river, not me," balas pacarnya jutek.

Itu dulu, aku masih bujang. Nostalgia.

Setelah omah-omah dan merantau ke ibu kota belasan tahun, pada 2014 aku pulkam dan ngontrak rumah di pinggir Serayu. CLBK tentu saja. Bedanya, Serayu yang dulu pernah memahkotaiku sebagai pemegang rekor mancing Mahseer dengan tangkapan 14,7 kg., sedang dirundung lara. Ilegal fishing dengan setrum dan insektisida merajalela. Daerah tangkapan air di kawasan hulu merosot drastis, dan serakahnya perusahaan penambang sirtu memperkosa Serayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun