Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adu Dingin Melawan Peleceh Seksual

24 Oktober 2014   22:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:51 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14141588951135272554

[caption id="attachment_349655" align="aligncenter" width="490" caption="Peleceh seksual bisa beroperasi di keramaian di dunia nyata maupun di medsos (dok.pri)"][/caption]

Mengingat pengalaman pribadi dilecehkan secara seksual selalu membuat pitam naik kembali ke ubun-ubun.

Peristiwa ini saya alami saat naik kereta bawah tanah di salah satu ibukota negara di Eropa barat hampir 15 tahun yang lalu.

Saat itu adalah sore hari menjelang malam saat kepadatan gerbong-gerbong kereta bawah tanah mencapai puncaknya karena bertepatan dengan jam pulang kantor.

Di satu stasiun di tengah kota, gerbong yang saya tumpangi mendadak menjadi luar biasa padat. Tidak ada jarak lagi antar penumpang yang berjejal berdiri di gang di tengah gerbong maupun di ruangan tanpa bangku di dekat pintu kereta. Luar biasa padatnya sehingga satu penumpang seakan menghimpit dan menopang penumpang yang lain sehingga tidak perlu lagi berpegangan pada palang besi yang tersedia di atas kepala.

Baru sekian detik setelah kereta berjalan, tiba-tiba saya merasakan ada yang meraba (maaf) selangkangan saya dari arah depan. Dengan susah payah tangan saya secara refleks saya gerakan untuk menangkap tangan penumpang yang meraba selangkangan saya. Saya tangkap jempolnya, saya temukan persendiannya dan saya telingkung jari itu ke arah luar untuk menjauhkan sedikit tangan itu dari selangkangan saya.

Telikungan saya menampakan hasilnya: wajah seorang bapak pemilik tangan berumur 50an di depan saya sedikit mengerenyit kesakitan.

Saat saya kendurkan sedikit “kuncian” saya, ternyata tangan itu kembali mencoba menekan bergerak ke arah selangkangan saya lagi. Kuncian pun saya kencangkan lagi dan wajah bapak itu mengerenyit sedikit kesakitan.

Sejak itu kuncian tidak saya kendurkan lagi agar tangan itu tidak menyentuh selangkangan saya dan saya tatap bulat-bulat wajah orang itu dengan amarah sudah diujung tanduk.

Sampai detik ini saya masih ingat apa yang lihat: bapak itu tidak memandang ke arah saya, namun memandang hanya ke satu arah ke langit-langit gerbong tanpa berkedip sekalipun. Tenang, dingin, tanpa ekpresi. Penampilan sangat teramat biasa. Rapi, moderen dan bersih seperti karyawan atau eksekutif kelas menengah pada umumnya.

Setelah 3-4 menit (yang terasa seperti seabad.. ) kereta pun berhenti di stasiun berikutnya. Sambil bergerak ke arah pintu jarinya tetap saya telikung. Setelah jarak agak aman, baru saya lepas jarinya dan saya pun turun untuk mengambil kereta berikutnya.

Dari peron saya lihat si bapak tetap berada di tengah gerbong tetap dengan ekspresi yang sama dan arah tatapan yang tidak berubah.

Kereta itu pun meninggalkan saya yang hanya bisa misuh-misuh kesal.

***

Ada dua hal yang saya catat dari peristiwa ini.

Pertama, pelaku itu berdarah dingin: wajah yang tenang, dingin tanpa ekspresi.

Saya tidak bisa menduga apakah pelaku memiliki kemampuan teatrikal yang luar biasa untuk membuat aksinya tidak terlihat oleh penumpang lain atau apakah memang ini gejala patologis dari gangguan jiwa (psikopatik?) yang mungkin diidapnya. Yang jelas ekspresinya hanya berubah sedikit dan sekilas saja saat yang bersangkutan sedikit mengerenyit saat jempolnya saya puntir.

Hal lain yang saya tangkap dari ke”dingin”an ekspresi wajahnya itu adalah kesan “profesionalitas” yang bersangkutan dalam beraksi. Wajahnya seakan menyampaikan “pesan” atau ancaman: jangan macam-macam loe… gua dah biasa!

Kedua, butuh sikap tegas namun tetap dingin untuk menghadapi peleceh seksual.

Refleks saya secara fisik adalah menangkap dan mengunci tangan pelaku. Di saat yang sama, karena rasa marah yang luar biasa, saya sempat berpikir untuk meneruskan puntiran tangan saya agar si pelaku menjerit kesakitan. Namun ide itu segera saya tepis saat saya memikirkan bahwa dengan tindakan itu bisa-bisa malah saya yang akan didakwa melakukan tindak kekerasan, terlebih melihat ekpresinya yang begitu tenang dan dingin yang membuat saya berpikir bahwa tentunya pelaku sudah biasa melakukan hal itu dan tentu sudah siap dengan strategi tertentu untuk mengantisipasi perlawanan secara fisik oleh korban.

Di kemudian hari setelah konsultasi dengan kawan-kawan yang lebih mengerti sistem hukum dan peraturan di negara tersebut, saya agak menyesali juga keputusan saya untuk tidak menyeret pelaku ke luar kereta lalu saya melaporkannya ke pihak yang berwajib.

Akhirnya meskipun tidak bisa di-generalisir, rasanya dua hal di atas tetap bisa kita pakai untuk menghadapi peleceh seksual, predator seksual, perayu seksual atau apapun namanya di mana saja baik di alam nyata maupun di media sosial yang akhir-akhir ini menjadi lahan baru.

Dingin-nya darah para peleceh seksual harus dilawan dengan kepala dingin namun tegas!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun