Data Indeks Lalu-Lintas Tomtom menunjukkan bahwa tingkat kemacetan rata-rata lalu-lintas Jakarta pada jam-jam sibuk pagi dan sore sejak awal Mei 2022 sudah sangat mendekati tingkat kemacetan rata-rata jam-jam puncak tahun 2019, atau masa sebelum pandemi.
Hal ini menunjukkan satu hal: Kebijakan transportasi di Jakarta sejak 2019 belum berhasil mengatasi kemacetan yang terjadi secara berarti.
Dengan kata lain, berkurangnya kemacetan yang terjadi selama masa pandemi tahun 2020 dan 2021 bukanlah hasil kebijakan transportasi di ibu kota, melainkan merupakan hasil kebijakan-kebijakan pembatasan pergerakan atau mobilitas terkait pandemi COVID-19.
Kecenderungan akan naiknya tingkat kemacetan di Jakarta ini tentu berisiko menggagalkan ambisi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 50 persen di bawah skenario dasar pada tahun 2030 sebagaimana ditetapkan dalam Pergub Provinsi DKI Jakarta nomor 90 tahun 2021.
Selain itu, bisa diduga juga bahwa naiknya tingkat kemacetan secara signifikan di ibu kota sejak awal Mei ini merupakan salah satu penyebab buruknya kualitas udara pada dua bulan terakhir ini sebagaimana ditunjukan oleh situs IQAirb.
Penelitian dengan data tahun 2018 dari tim Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan bahwa penggunaan kendaraan pribadi oleh warga Jakarta memainkan peran yang penting dalam menyebabkan kemacetan dengan tingkat yang tinggi di jam sibuk, pagi dan sore hari.
Adanya kecenderungan naiknya tingkat kemacetan di Jakarta seperti yang ditunjukan indikator Tomtom sejak awal Mei 2022 tentu membuat kita boleh bertanya:
Apakah merupakan warga DKI Jakarta belum beralih dari menggunakan mobil dan sepeda motor pribadi ke angkutan umum?
Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah.