Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengurus E-KTP Mudah, Kata Siapa?

2 September 2016   09:42 Diperbarui: 2 September 2016   13:53 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peraturan yang diciptakan di negara ini selalu saja menimbulkan masalah baru. Kadang, peraturan yang satu juga tumpang tindih dengan peraturan yang lain, bahkan ada peraturan yang saling bertolak belakang. Entah bagaimana sebetulnya peraturan yang diberikan oleh pemerintah bagi rakyatnya saat ini. Katanya sih, semua terintegrasi dan berbasis teknologi informasi. Kata siapa?

Sebagai warga negara Indonesia, saya sebagai rakyat jelata ikut-ikut saja aturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Apalagi saya sendiri merupakan bagian di dalamnya. Dalam segala hal yang menyangkut pelayanan publik, pemerintah menerapkan penggunaan KTP bagi setiap rakyat yang ingin menggunakan pelayanan tersebut. Apa saja, pasti ada saja keperluan butuhnya KTP, minimal dalam bentuk fotokopiannya.

Sekitar tahun 2011, pemerintah telah bertransformasi dalam hal penggunaan KTP. Kemajuan teknologi informasi mendorong pemerintah menelurkan kebijakan baru, yakni Elektronik-KTP atau E-KTP. Tahun 2011, saya lagi dan lagi berusaha menjadi warga yang baik telah mengurus E-KTP. Tetapi, hasilnya... nihil, alias tidak jelas. 

Pengurus E-KTP Kecamataan saat itu memang tidak profesional sama sekali. Saya kemudian memutuskan untuk kembali mengurus KTP biasa di tahun 2015, sebab sudah bertahun-tahun E-KTP kok tidak jadi-jadi. Itu mbok ya dievaluasi sampai tingkat kecamatan. Tapi sepi, tidak ada tindakan apa pun dari pemerintah. Saya sebagai wong cilik pasrah-pasra saja. Toh meski masih menjadi bagian pemerintah sendiri, bukan tugas dan fungsi saya untuk menangani KTP.

Dari hasil dibola-pimpongin petugas KTP dan saat itu masih berlaku sistem pungutan liar alias pungli, KTP biasa saya aktif sampai 2019. Saya sudah lega karena untuk keperluan perbankan dan adminitrasi pelayanan publik sudah tidak meributkan soal KTP lagi. Tetapi, setelah dikeluarkannya peraturan Menteri dalam negeri (Permendagri) Nomor 8 Tahun 2016 tentang pengurusan E-KTP dengan syarat pembatasan waktu perekaman sampai 30 September, saya menjadi was-was lagi. Sebab, katanya data E-KTP tersebut itu bakal terintegrasi dengan sejumlah pelayanan publik yang lain.

Kemarin, saya mulai mengurus E-KTP. Katanya Menteri sih hanya bawa saja fotokopi Kartu Keluarga (KK) ke capil kemudian melakukan perekaman retina dan foto. E-KTP sudah bisa didapatkan dan data E-KTP sudah terdaftar dalam server yang katanya pula terpusat. Tapi ternyata tak semudah kicauan Permendagri deh. Sebagai salah satu bagian dari abdi negara, saya harus berpindah-pindah tempat. Dan, saat saya mengurus ke capil tempat saya kerja sekarang, ternyata waktu perekaman, data saya tidak terdapat di dalam database nasional. Kata operatornya. Saya diharuskan mengurus KK di tempat domisili sekarang sebagai KK baru dan menghapus keanggotaan KK saya di tempat lahir saya. Ini baru kasus saya di dalam negeri lho, bagaimana dengan mereka yang TKI atau pekerja di luar negeri?


Kemarin saya langsung menghubungi kepala dinas induk capil daerah tempat saya lahir. Katanya memang benar, harus melakukan penghapusan data dengan melampirkan Surat Keterangan Pindah. Weleh-weleh... teknologi kok semakin mempersulit pelayanan publik. Saya justru berlogika, kenapa demikian sistemnya?

Saya pikir, pertama pemerintah itu mengakumulasi data KK nasional dulu menjadi sebuah database. Dengan demikian kan, tempat domisili di mana pun tidak perlu surat pindah segala, apalagi membuat KK baru. Ini bukan soal kemudahan pelayanan saja, tetapi coba kita pikir, misalnya pegawai yang kerjanya berpindah-pindah, apa tidak justru merepotkan?

Sekali lagi, teknologi itu mbok dihadirkan dalam rangka mempermudah, bukan mempersulit seperti ini. Itu algoritma pembuatan sistemnya siapa ya? Sepertinya perlu di-reshuffle deh, hehe... Kalau seperti ini, berarti data kita berubah. Sementara kata di Permennya dilarang mengubah data awal. Apa lagi kalau bukan KK? Sementara kalau kasusnya pegawai yang pindah-pindah dan belum urus E-KTP begini masih disuruh menghapus KK di Domisili. Ini logika pikirnya kurang elegan sekali sepertinya.

Belum lagi, beberapa waktu lalu saya bersabar dan mencoba menguruskan KK melalui bantuan keluarga saya di domisili awal. Tetapi, katanya petugas pembuat E-KTP, penghapusan KK itu butuh KTP saya yang asli, sementara biasa pulang kampung jutaan. Hanya cuma E-KTP dan segala dampak multiplier-nya saya dalam sekejap harus mengorbankan jutaan rupiah hanya untuk mengurus kartu kecil itu. KTP biasa saya masih berlaku sampai 2019. 

Please, berbasis teknologi tapi kalau user-nya logikanya masih kurang dan ruwet begitu mending E-KTP ditiadakan saja. Percuma kecanggihan E-KTP mengalahkan kecanggihan manusia pembuat sistemnya. Integrasi data memang penting, tetapi kalau menyulitkan birokrasi dan pelayanan publik sendiri, bagaimana tuh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun