Dalam diskursus politik-hukum hari ini, kita menyaksikan sesuatu yang menyedihkan namun nyata: ruang hukum kehilangan kemuliaannya. Bukan karena kehampaan norma, tetapi karena kekuasaan yang memperlakukan hukum sebagai bagian dari strategi politik, bukan sebagai penjaga keadilan.Â
Kita tahu  dan harus jujur mengakui  bahwa baik Hasto Kristiyanto maupun Thomas Lembong bukanlah subjek hukum yang netral. Mereka adalah bagian dari pusaran konflik politik pasca-Pemilu 2024. Dalam banyak pandangan, keduanya juga tidak bisa dilepaskan dari orkestrasi politisasi hukum yang pernah diarahkan kepada lawan-lawan politik kekuasaan, mereka bukanlah subjek hukum yang steril dari muatan politis. Keduanya terlibat  dalam kadar yang berbeda  dalam konfigurasi politik nasional dan manuver kekuasaan.Â
Namun, ketika hari ini amnesti dan abolisi diberikan kepada mereka, kita tidak sedang menyaksikan kemenangan keadilan, melainkan pembenaran politis atas kompromi kekuasaan. Hukum dijadikan alat tawar, bagian dari kalkulasi jangka menengah, untuk mengamankan konsolidasi kekuasaan jangka panjang.
Siapa yang Diuntungkan? Siapa yang Tercecer?
Amnesti dan abolisi semacam ini tidak mungkin  bahkan mustahil  terjadi pada rakyat kecil. Tidak ada tukang becak yang mendapatkan abolisi karena dipidanakan secara sewenang-wenang. Tidak ada petani yang diberikan amnesti atas konflik agraria. Hukum tetap keras kepada yang lemah, namun lentur bagi yang memiliki posisi tawar politik.
Ini membuktikan satu hal: kewenangan hukum hari ini tunduk pada kehendak politik elite, bukan pada kebenaran substantif atau kepentingan rakyat. Keadilan kehilangan posisi sentralnya, digantikan oleh negosiasi strategis antarelite yang dikemas dalam bahasa hukum.
Apa yang kita hadapi hari ini bukan hanya krisis kepercayaan publik terhadap institusi hukum, tetapi juga krisis filsafat hukum itu sendiri. Ketika hukum tidak lagi menjamin keadilan, melainkan bergantung pada posisi politik seseorang, maka fungsi korektif dan moral hukum telah gagal total.
Kebenaran hukum tidak lagi dicari, melainkan didesain sesuai kebutuhan politik. Bahkan tafsir konstitusi pun bisa disesuaikan demi menjustifikasi arah kekuasaan. Di tengah itu semua, rakyat hanya menjadi penonton sunyi, tak punya akses pada instrumen pengampunan, apalagi keberpihakan.
Maka, inilah catatan kritis kita: kemuliaan hukum hanya dapat dijaga jika hukum tegak bukan karena kekuasaan, melainkan karena keberpihakannya pada keadilan. Jika tidak, maka hukum tak lebih dari perpanjangan tangan kekuasaan yang bermain di balik jubah konstitusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI