"Bang, apa sikap Gereja Katolik terhadap kematian mereka yang di Palestina"?. Pertanyaan ini sering disampaikan kepada saya bahkan pertanyaan yang sama sering muncul di media sosial, terutama dari saudara-saudari muslim di Indonesia. Mereka bertanya mengapa Katolik tampak sunyi ketika Gaza berdarah? Pertanyaan itu lahir bukan dari kebencian, melainkan dari minimnya literasi.
Banyak yang tidak tahu bahwa sejak puluhan tahun lalu, Paus-Paus Katolik tidak pernah berhenti bersuara, bahkan menjadikan tahta suci Vatikan sebagai ruang diplomasi netral di tengah konflik paling pelik abad modern. Pertama, sikap Paus Yohanes Paulus II dalam pernyataan tentang Martabat Bagi Dua Bangsa. Pada tanggal 22 Maret tahun 1987, Paus Yohanes Paulus II menegaskan prinsip fundamental yang menjadi dasar posisi Vatikan hingga kini "Bangsa Palestina memiliki hak alami dan tidak dapat diganggu gugat untuk tanah air sendiri dan untuk hidup dalam damai serta martabat" (Sumber: homili Vatikan, 22 Maret 1987).
Setelah perjanjian Oslo 1993, Paus Yohanes Paulus II menerima Presiden Yaser Arafat di Vatikan. Dalam audiensi itu, ia berkata, "Tanah suci adalah tanah bagi dua bangsa dan tiga agama. Dan hanya melalui keadilanlah perdamaian sejati dapat tercapai." (Sumber: audiensi dengan Yasar Arafat, 15 September 1993,  Vatikan News.com). Paus  Yohanes Paulus II menegaskan garis ganda yakni "Israel berhak atas keamanan dan Palestina berhak atas tanah air, Keduanya tak bisa dipisahkan".
Kedua, sikap Paus Benediktus ke-14 dalam surata Harapan Jangan Padam. Saat berziarah ke Betlehem pada tanggal 13 Mei tahun 2009, Paus Benediktus ke-16 menyapa rakyat Palestina dengan kata-kata penuh pengharapan "Jangan kehilangan harapan. Dunia berdiri bersama kalian dalam aspirasi sah untuk tanah air yang Merdeka" (Sumber: kunjungan ke Betlehem, 13 Mei 2009, Vatikan News.com). Ia juga menekankan bahwa keadilan bagi Palestina bukan ancaman bagi Israel melainkan syarat agar Israel pun dapat hidup aman.
Ketiga, Paus Fransiskus dalam surat Doa Bersama dan Diplomasi Hukum. Pada tanggal 8 Juni tahun 2014, Paus Fransiskus mengambil langkah berani mengundang Presiden Israel Simon Perez dan Presiden Palestina Mahmud Abbas ke Taman Vatikan untuk berdoa bersama. Ia berkata, "Membangun perdamaian itu sulit, tetapi hidup tanpa damai adalah mustahil. Hanya dengan satu kata cukup, kita bisa berhenti saling membunuh." (Sumber: doa untuk perdamaian, Vatikan, 8 Juni 2014, Vatikan News.com). Setahun kemudian, pada tanggal 26 Juni tahun 2015, Vatikan menandatangani perjanjian komprehensif dengan negara Palestina, memperkuat pengakuan resmi tahta suci atas Palestina. Saat perang Gaza 2023 meletus,Paus  Fransiskus kembali berseru, "Saya meminta agar jalan untuk Gencatan senjata segera dibuka, agar bantuan kemanusiaan bisa masuk, dan agar para Sandra dibebaskan" (Sumber: Angelus, 29 Oktober 2023, Vatikan News.com). Paus Fransiskus sampai menjelang akhir hayatnya tidak pernah lelah menegaskan hentikan kekerasan terhadap warga sipil yang membuat Presiden Israel tersinggung.
Keempat, Paus Leo ke-14 dalam  Suara Baru Jejak yang Sama. Setelah terpilih pada tanggal 8 Mei tahun 2025, Paus Leo XIV memberikan perhatian intens terhadap konflik berdarah di jalur Gaza. Di awal masa kepemimpinannya, ia segera menyinggung tragedi Gaza. Dalam audiensi umum tanggal 21 Mei tahun 2025, ia berkata, "Saya memperbarui seruan saya agar diizinkan masuknya bantuan kemanusiaan yang bermartabat dan agar permusuhan segera diakhiri. Harga yang menyayat hati itu dibayar oleh anak-anak, Orang tua, dan orang sakit" (Sumber: Audiensi umum, 21 Mei 2025., Vatikan News.com). Pada tanggal 4 September 2025 saat bertemu Presiden Israel Isak Hersok, Paus Leo XIV menegaskan, "Saya mendesak pembebasan semua sandra, gencatan senjata permanen, serta masuknya bantuan kemanusiaan tanpa halangan" (Sumber: pertemuan dengan Presiden Israel, 4 September 2025, Vatikan News.com)
Melalui penjelasan yang diserti data yang jelas kita tahu bahwa garis moral Vatikan tidak berubah. Suara profetik dan diplomasi berjalan bersama, berpihak pada korban, dan perdamaian. Dengan demikian, suara nurani resmi Gereja Katolik terhadap konflik Israel dan Palestina di jalur Gaza tetap selalu konsisten. Bagi netizen Indonesia yang masih bertanya kenapa diam saja, itu bukan karena faktanya demikian, namun karena media Indonesia jarang memberitakannya dan anda mainnya kurang jauh ke berita-berita luar negeri yang membuat anda seperti kodok di dalam tempurung.
Faktanya jelas dan anda bisa googling di internet dengan paket data bahwa dibandingkan aksi-aksi boikot dan ujaran kebencian yang seringkiali kalian lontarkan terhadap Israel dan Amerika di media sosial yang tidak banyak berdampak, Gereja Katolik melalui Tahta Suci Vatikan lebih elegan, cerdas, dan tepat sasar dalam upaya diplomasi perdamaian di jalur Gaza. Sejak Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, Fransiskus hingga Leo XIV, Vatikan konsisten bersuara "Dua bangsa, dua hak, satu martabat". Israel berhak atas keamanan, Palestina berhak atas negara. Dan dunia wajib menghentikan darah yang tumpah sia-sia.
Jika suara Vatikan tampak pelan, itu karena ia bukan teriakan media sosial, melainkan suara nurani yang bergaung melalui doa, diplomasi, dan desakan moral "Suara itu mungkin tidak gaduh, tetapi justru karena itulah ia menjadi terang di tengah hirup pikuk pertarungan rudal antara kedua negara yang sedang bertikai dan perang urat saraf serta berbagai ujaran kebencian yang masif dan khas dari sebagian netizen Indonesia di aneka media sosial.
Jika Anda masih beranggapan bahwa Gereja Katolik diam saja terhadap isu konflik Israel Palestina di jalur Gaza, itu berarti bahwa Anda sesungguhnya yang kurang piknik atau mainnya kurang jauh. Ini semua terkait dengan minimnya literasi atau kualitas SDM masyarakat Indonesia