PSSI tentu tidak sedang memberikan arahan tentang pusaran air atau angin kepada klub Liga 1 dan Liga 2. Juga bukan memberikan arahan soal keturunan ayam biasa dengan ayam biasa.
Istilah pusaran angina atau keturunan ayam di atas merupakan arti dari kata "kisaran" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Kata "kisaran" itu jadi mengemuka karena disebutkan dalam Surat Keputusan (SK) PSSI nomor SKEP/53/VI/2020 tentang kelanjutan Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 mengatur tentang nilai kontrak klub dengan pemain, pelatih dan ofisial terkait akan kembali bergulirnya Liga 1 dan 2 2020 pada Oktober 2020 mendatang.
Adanya itu membuat SK tersebut ambigu, dibuat dengan tidak tegas sehingga menimbulkan kebingungan dan multi tafsir.
Tentang nilai kontrak itu, surat itu menyatakan ""Perubahan nilai kontrak untuk klub Liga 1 dengan kisaran 50% dan klub Liga 2 dengan kisaran 60% dari total nilai kontrak atau sekurang-kurangnya di atas upah minimum regional yang berlaku di masing-masing klub. Kontrak baru akan berlaku satu bulan sebelum kompetisi dimulai sampai dengan berakhirnya kompetisi."
Kata "kisaran" di situ bisa menimbulkan polemik dan konflik. Klub bisa saja menggunakan kata tersebut untuk membayar pemain dengan nilai jauh di bawah kontrak. Bisa di bawah 50 persen untuk Liga 1 dan di bawah 60 persen untuk Liga 2.
Tidak dijelaskan oleh PSSI kenapa tidak ada kata minimal atau maksimal. Hal yang berbeda dengan SK sebelumnya (SK PSSI nomor 48/SKEP/lII/2020) dimana klub diperbolehkan membayar gaji pemain serta ofisial kepelatihan maksimal 25% dari kontrak semula mulai Maret sampai Juni.
Selain itu PSSI juga tidak memberikan keputusan menyangkut besaran gaji untuk Juli dan Agustus.
Ketidakjelasan pembayaran kontrak kepada pemain dan pelatih untuk Juli dan Agustus 2020 ini menambah kebingungan klub atas SK "kisaran" tersebut. Banyak klub akhirnya menggunakan ketentuan "maksimal 25%" sesuai dengan SK PSSI sebelumnya (nomor 48/SKEP/lII/ 2020) untuk membayar gaji pemain di bulan Juli dan Agustus ini.
Hal ini juga berdasarkan pada poin ketiga dari SK PSSI nomor SKEP/53/VI/2020 : "Apabila telah terjadi perubahan kesepakatan akibat keadaan kahar terkait pandemi COVID-19 antara semua pihak sebelum tanggal berlakunya surat keputusan ini, maka kontrak tersebut tetap berlaku."
Soal Kontrak
Negosiasi ulang gaji para pemain, pelatih dan ofisial tim itu pada hakekatnya tindakan jangka pendek di tengah kesulitan klub dalam hal finansial sebagai imbas adanya pandemi Corvid-19.
Pembayaran gaji yang hanya sebesar 25% untuk April hingga Agustus (jika dianggap gaji Juli-Agustus sama halnya dengan Apil-Juni) memang meringankan beban klub. Namun yang perlu ditekankan adalah perubahan prosentase gaji itu bukan berarti adanya perubahan kontrak.
SK "kisaran" PSSI itu sendiri akan menimbulkan masalah baru bagi klub dan pemain, pelatih serta staf karena mereka akan menerima  pemain Liga 1 belum tentu menerima ketentuan "kisaran" gaji 50% hingga akhir musim. Sedangkan kontrak para pemain umumnya berakhir pada November atau Desember 2020.
Bila itu dijalankan per September 2020, apakah diartikan durasi September-Desember (jika kontrak berakhir Desember) mereka menerima gaji berkisar 50%, selanjutnya juga dengan nilai sama atau berbeda dari Januari hingga berakhirnya kompetisi?.
Tak heran jika klub seperti PS Sleman menilai bahwa di dalam SK PSSI itu  belum terdapat penjelasan secara gamblang, termasuk jadwal pelaksanaan pertandingan kompetisi. Padahal hal itu dapat dijadikan pedoman klub menentukan formula tepat dalam bernegosiasi kontrak anyar.
"Paling tidak kami bisa menawarkan kontrak baru dengan para pemain, berdasarkan durasi kompetisi yang dilanjutkan nanti berapa lama. Jadi poin demi poin dari PSSI perlu diperjelas kembali," jelas Direktur Operasional PT PSS (Putra Sleman Sembada, yang mengelola PS Sleman), Hempri Suyatna.
Di sinilah letak keambiguan dan kebingungan yang muncul dari SK "kilasan" itu. Tidak sekedar pembayaran sebesar 50% saja tapi menyangkut kontrak baru. ***