Mohon tunggu...
Johannes Evan Jedidiah
Johannes Evan Jedidiah Mohon Tunggu... Pelajar

Saya adalah seorang yang gigih.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tiga Pandangan, Satu Kritik

21 September 2025   09:35 Diperbarui: 21 September 2025   09:35 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi demo yang terjadi di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jumat (29/8/2025). (Dok. TIMES Indonesia)

"Hal ini menunjukkan sikap kontradiktif masyarakat, dan ini juga dibuktikan melalui isu-isu sekarang seperti pemanasan global."

Artikel Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu oleh F. Rahardi mempunyai metode penyampaian yang unik. Artikel ini menggabungkan narasi pribadi, informasi ilmiah, dan kritik sosial untuk menyampaikan pesan yang kompleks. F. Rahardi menjelaskan ulat bulu yang dulu menjadi makanan warga Indonesia selama 1950-1960an, lalu dibanding dengan pandangan zaman sekarang yang takut akan ulat bulu untuk menyampaikan pesan yang lebih luas mengenai realita masa modern. Hal ini menunjukkan sikap kontradiktif masyarakat, dan ini juga dibuktikan melalui isu-isu sekarang seperti pemanasan global. Melalui artikel ini,  pembaca bisa dibenahi dengan banyak pengetahuan-pengetahuan baru tentang spesies ulat dengan juga memahami tentang sikap kontradiksi masyarakat sekarang yang dapat mengancam keberlangsungan hewan-hewan seperti ini.

Pandangan artikel F. Rahardi cukup tegas dan langsung dalam menanggapi isu-isu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pesan dan kesan yang disampaikan oleh penulis sangat sesuai. Isu dan fakta yang disampaikan penulis memang nyata dan kritik sosial penulis serta bagaimana beliau menyampaikannya sangat membuka wawasan terhadap kondisi asli masyarakat.

"...kasus pemasangan pagar laut ilegal juga menyampaikan kritik yang keras dan langsung tentang ketidakmampuan pemerintah untuk menanggapi kasus ini dengan efektif."

Melihat sisi lain dari kelemahan-kelemahan negara, Editorial Tempo yang melaporkan tentang kasus pemasangan pagar laut ilegal juga menyampaikan kritik yang keras dan langsung tentang ketidakmampuan pemerintah untuk menanggapi kasus ini dengan efektif. Editorial ini menyampaikan menunjukkan bahwa pemerintah kurang kompeten dalam menyidik dan menyelesaikan kasus ini, khususnya kutipan dari editorial tentang pemerintah menggunakan teknik yang “rumit dan bertele-tele”. Selain itu, disampaikan juga pemerintah yang kesulitan menemukan aktor-aktor yang terlibat, meskipun para saksi menyampaikan bahwa, “Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Polri seharusnya tidak kesulitan menguak dalang proyek tak berizin…”. Dengan isu relevan ini, artikel ini juga mengungkapnya penting bagi para pihak yang terlibat khususnya juga Presiden Prabowo untuk segera menyelesaikan kasus ini karena dapat merugikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah apabila tidak tertangani.

Penulis menyampaikan isi artikel dengan cara yang tidak bertele-tele, secara tidak langsung mengkritik kemampuan, atau ketidakmampuan pemerintah dalam menangani kasus ini. Penjelasan mengenai isu ini, kronologis proses penyidikan, dan pihak serta informasi penting disampaikan penulis secara langsung dan jelas sehingga mudah dipahami oleh para pembaca. Melalui fakta-fakta tersebut, penulis juga menyampaikan kritiknya tentang kualitas pemerintah yang dipimpin oleh kabinet Prabowo. Penulis merasa bahwa pemerintah harus bisa bertanggungjawab dalam menanggapai permasalahan-permasalahan seperti ini dengan cara yang efektif dan efisien karena apabila tidak, hal ini tidak hanya merugikan masyarakat lokal tapi juga persepsi rakyat terhadap pemerintah.

"...ketiadaan etika dan integritas para pejabat politik dengan mengutip sumpah pelantikan anggota DPR."

Sekarang kita melihat sisi pemerintah yang mengkhianati rakyat melalui kolom oleh Budiman Tanuredjo yang menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi politik dan para pejabat zaman sekarang. Penulis menegaskan ketiadaan etika dan integritas para pejabat politik dengan mengutip sumpah pelantikan anggota DPR. Sumpah ini yang seharusnya menjadi afirmasi bagi para tokoh politik untuk menjalankan tugasnya demi mewakilkan rakyat dan memajukan bangsa ternyata hanya berupa omong kosong. Sumpah ini hanyalah formalitas bagi para pejabat karena perilaku mereka saat menjalani jabatan justru sangat berlawanan dengan janji mereka. Walaupun berupa teks, bisa dirasakan kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan oleh penulis saat membuat karya tulis ini.

Artikel ini menggabung fakta dan argumentasi dengan sangat kritis. Penulis mengutip sumpah DPR, tuntutan era reformasi, dan peristiwa-peristiwa asli seperti RUU Pilkada sebagai contoh kemunafikan para pejabat. Mereka berkampanye, berjanji, dan bersumpah bahwa mereka akan menjalankan tugas mereka sebagai wakil rakyat untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat, bangsa, dan negara. Pada kenyataannya, mereka hanya mengucapkan kata-kata mati dengan aksi-aksi yang hanya merugikan semua selain mereka. Mereka yang berjanji untuk memperbaiki masalah negara ternyata tidak coba sama sekali untuk mengatasinya, melainkan menambah juga masalah-masalah yang rakyat harus tanggung. Untuk menambah lagi, penulis menyampaikan hilangnya tokoh-tokoh politik Indonesia yang terkenal seperti Muhammad Hatta dan Agus Salim, untuk menunjukkan jauhnya pejabat zaman sekarang dari integritas tokoh politik Indonesia lama.

Segala kejahatan pemerintah dibalas oleh masyarakat. Sekarang kepada pemerintah untuk memilih apabila mereka tetap ingin menjalani tugas negara, atau rakyat yang harus menggantikan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun