Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selamat Datang Sahabat

18 September 2010   00:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari kini: Pak WS, Pak Trimo, saya, Bu Endah dan suami.

Jumat (17 September 2010) menjadi hari istimewa bagiku. Kebahagiaan ini tidak hanya disebabkan suasana hati dan keluarga yang sehat setelah sehari-hari dipenatkan acara-acara keluarga. Tidak juga disebabkan liburan anak-anak sudah usai dan besok (hari ini) masuk sekolah. Hari istimewa itu disebabkan kedatangan tamu istimewa: Bapak Wisnu Susilo, Kompasianer dari Jakarta.

Cukup keinginan untuk kopdar (kopi darat) direncanakan. Sewaktu ke Jakarta beberapa waktu lalu dan menginap di Oasis Amir, kami sudah berencana untuk bertemu. Waktu itu, kami belum mendapatkan kesepakatan waktu yang baik. Pak WS (panggilan akrabnya) masih disibukkan urusan pekerjaan, sedangkaan saya disibukkan urusan undangan. Justru pada hari terakhirnya, Pak WS menghubungi saya bahwa beliau sedang meluncur menuju ke Oasis.

Saya kaget. Pada waktu itu, saya justru sedang menuju bandara untuk kembali ke Solo. Urusan saya di Jakarta sudah selesai. Kami pun menunda keinginan bertemu. Ya, mungkin ini belum diinginkan-Nya. Kami meyakini bahwa ini memang takdir.

Lalu, kami pun berhubungan melalui telepon, SMS, dan kompasiana. Intensitas hubungan cukup tinggi. Tidak hanya pagi, siang, sore, bahkan malam (atau tengah malam), kami sering bertelepon ria. Entahlah, saya menemukan kecocokan dengan Pak WS.

Menurutku, Pak WS adalah pribadi bersahaja da sederhana. Meskipun menjadi pimpinan pada sebuah perusahaan besar, beliau sangat ramah. Saya mengenal beliau selang seminggu setelah menjadi kompasianer. Terhitung mulai tanggal 19 April 2010, saya menjadi bagian komunitas ini. Saya berusaha eksis dengan menulis fenomena sekitar dan pengalaman saya.

Hidangan khas kampung: jeruk, rambak ketela, klenyem, lentho, dan gandhos.

Tak tahunya, ada seorang sahabat yang menghubungi saya. Saya memang mencantumkan nomor HP pada profil saya. Ini bertujuan untuk memudahkan komunikasi jika ada sahabat yang berkeinginan untuk itu.

Ternyata, maksud itu benar. Tak berapa lama kemudian, saya mendapat telepon. Nomornya belum ada di HP saya. Oleh karena itu, saya tentu bertanya. Tak disangka, ternyata beliau adalah Pak WS ini. Hamper setengah jam beliau menelepon saya. Sampai-sampai, teman sekantor menyeletuk, “He, kalau telepon jangan lama-lama. Kasihan peneleponnya. Pulsanya bias habis.” Saya hanya tersenyum saja mendengar celetukan teman sekantorku itu.

Pak WS dan Pak Trimo sedang menikmati thengkleng.

Setelah itu, komunikasi kami semakin intens. Beliau selalu menjadi komentar pada setiap tulisanku. Saya pun berusaha mengimbanginya. Saya juga berusaha mengomentari setiap tulisan beliau.

Suasana lebaran ini menjadi rahmat bagi kami. Waktu itu, saya menulis tentang hikmah puasa dan reportase Ramadhan. Tak disangka, Pak WS bermaksud untuk berkunjung ke gubug saya. Perlu diketahui, Pak WS itu berasal dari Magelang. Jadi, beliau tentu akan mudik ke sana.

Mendengar keinginan itu, saya tentu menyambut gembira. Saya hanya berucap, “Silakan datang. Ajak semua keluarga. Nanti kita pesta di rumah saya.”

Bu Endah dan suami pun tak mau ketinggalan.

Ternyata, janji itu ditepati Pak WS. Awalnya, Pak WS ingin berkunjung pada hari Kamis (16 September 2010). Karena pagi hari saya harus halal bihalal kantor dan sorenya harus kuliah, saya mengusulkan agar diundur saja pada hari Jumat (17 September 2010). Dan beliau pun setuju.

Kebersamaan menumbuhkan keberkahan.

Jumat (17 September 2010) pagi sekitar jam 10.00, beliau datang. Bersama dengan beliau, ada perempuan dan dua laki-laki. Ternyata, perempuan itu adalah Ibu Endah Yekti dengan suaminya dan Pak Trimo, sang sopir. Jadi, mereka berempat.

Menurut penuturannya, beliau harus menempuh perjalanan sekitar 100 km lebih. Bayangkan saja, Magelang – Sragen! Beliau berangkat dari Magelang jam 07.00 dan tiba di rumahku jam 10.00an. Tentu saja itu termasuk kebingungan mencari rumahku. Maklum, rumahku di kampong alias desa pelosok.

Sebagai penepatan janji, saya berusaha memberikan sajian khas kampungku. Saya menyediakan menu istimewa kampong kami. Sebagai makanan ringan, saya menghindangkan lentho, gandhos, dan klenyem. Tak lupa, rambak dari ketela rambat.

Dalam sekejab, hidangan itu lenyap.

Lentho adalah makanan dari ketela pohon diparut agak lembut. Lalu ditaburi kelapa, garam, dan digoreng. Gandhos adalah makanan dari beras ketan yang dilembutkan dan digoreng. Klenyem adalah makanan dari ketela pohon yang diparut agak lembut. Lalu, dicampur dengan kelapa dan diberi gula jawa di bagian tengahnya. Selanjutnya, digoreng. Rambak disebut pula kerupuk atau karak. Asalnya dapat berasal dari ketela, beras, atau gandum.

Usai minum teh dan makan makanan kampong, saya menyajikan thengkleng, sayur sambal goreng dengan isi kacang tholo, dan ketupat. Saya memang menjanjikan bahwa akan ada menu istimewa untuk Pak WS: thengkleng. Thengkleng adalah lauk dari daging yang menempel pada tulang kambing atau sapi. Saya memang sangat menyukai thengkleng. Lezat dan bergizi.

Menurutku, Pak WS adalah pribadi sederhana nan bersahaja.

Sebagai penutup hidangan, saya menyajikan es buah buatan istriku tercinta. Saya persilakan para tamu istimewa itu menikmati semua hidangan khas kampong saya. Kami terlibat dalam suasana meriah. Anak-anakku pun cepat akrab dengan beliau berempat. Mereka saling bergantian menggendong anak ketigaku yang sedang belajar berdiri.

Sebagai penutup acara di kampung, saya mengajak para tamu istimewaku ke Museum Purbakala Sangiran. Hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari rumahku. Kami berpisah di sana. Saya harus masuk kuliah, sedangkan Pak WS dan rombongan kembali ke Magelang. Wouw, saya selalu terkenang dengan para tama-tamu itu. Memang benar lho, silaturahmi akan mendatangkan keberkahan. Ayo, siapa lagi yang akan main ke kampungku. He…he…he….!

http://www.kompasiana.com/ws-thok

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun