Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pakat dan Toge Panyabungan Membuat Lupa Mudik Lebaran

12 Mei 2021   14:58 Diperbarui: 12 Mei 2021   18:11 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Rupanya Toge Panyabungan itu bukan jenis panganan berupa sayur toge -kecambah kacang kedelai atau kacang hijau, tetapi sejenis minuman mirip cendol atau es campur kalau di Bandung. Bisa dikatakan es campur karena semangkuk toge berisi panganan mirip cendol dicampur, pulut ketan hitam, dan lupis -sejenis bacang tipis terbuat dari ketan lalu diguyur dengan kinca gula aren dan kuah santan yang kental dan bongkahan es batu untuk menyegarkan.

Setelah membeli dua panganan unik khas Padangsidempuan sebelum pulang tak lupa kami membeli gulai ikan limbat, panganan khas yang sudah sering dinikmati sebelumnya. Sore sudah menjelang senja, kami pun pulang diantar becak motor, kendaraan khas Padangsidempuan berupa sepeda motor vespa yang disulap menjadi moda angkutan umum dengan menempelkan becak untuk penumpang di samping badan vespa. Suaranya cukup bising memekakan telinga. "Treng, terenteng, tenteng-tenteng!"

Tak lama setelah tiba di rumah petak tempat kami tinggal terdengar suara adzan magrib. Tak sabar ingin segera menyantap toge, sebagai tajil parbuka.
Hemhmh...memang endes! Dahaga setelah seharian berpuasa sirna. Langkah berikutnya mencicipi pakat, umbut batang rotan muda.

Aku mengambil satu batang kecil, begitu juga istriku dan hampir bersamaan kami pun menggigitnya tanpa sambal pedas seperti saran abang-abang tadi sore di depan pajak batu itu. Setelah gigitan pertama aku menyeringai. Aku menatap istriku, ia pun menatapku sama sambil menyeringai. Sejurus aku dan istriku saling menatap. Pakat -yang katanya mantap itu rasanya jauh dari umbut kelapa. Pahit!

Lalu kami mencobanya dengan sambal pedas dengan nasi putih hangat dengan gulai ikan limbat. Rasa pahit batang rotan muda dari hutan itu tiba-tiba hilang, tahu-tahu sejumput pakat dan semangkuk gulai ikan limbat dan hanpir sebakul nasi putih telah kandas. Aku dan istriku saling menatap. Kutengok Gena, putri kecilku asyik menjilati sisa toge di mangkuk kecil yang disiapkan istriku sengaja untuknya.

Besoknya sengaja kami ngabuburit ke pajak batu lebih dini. Aku khawatir di pasar sore kehabisan toge dan pakat. Begitu seterusnya setiap hari sepanjang bulan puasa. Kami berbuka atau makan sahur tidak selalu dengan lauk gulai limbat, sesekali makan ikan mas arsik dengan kuah merah, ayam goreng pop khas minang, sate lidah, gulai cincang daging sapi, soto ayam atau lauk yang lain. Tetapi perkara toge dan pakat tak pernah ketinggalan dalam setiap hidangan buka puasa maupun sahur.

Berkah toge panyabungan dan pakat rasanya bulan puasa terasa sangat cepat berlalu. Tahu-tahu sudah tanggal 1 syawal saatnya merayakan Hari Raya Idul Fitri. Berkah kenikmatan itu kami merayakan lebaran di perantauan layaknya di kampung sendiri. Toge Panyabungan dan pakat telah mencegah kami mudik pulang kampung ke Jawa untuk merayakan kemenangan yang fitri di Padangsidempuan.

Untuk kawan-kawan di Kota Padangsidempuan, tempat di mana kami pernah tinggal selama lebih dari 5 tahun dari tahun 1997 sampai 2003, dan kawan-kawan lain di tempat yang berbeda kami dari Bandung menyampaikan,  "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 H. Taqaballahu minna wa minkum, taqaballahu yaa kareem."

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun