Di era digital yang semakin pesat, masyarakat Indonesia tidak hanya menikmati kemudahan teknologi, tetapi juga menghadapi ancaman serius berupa kejahatan siber. Dari pencurian data pribadi hingga penipuan daring, ancaman ini menyasar siapa saja baik individu maupun institusi. Maka dari itu, meningkatkan literasi digital bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak, terutama dalam mendukung keberhasilan implementasi UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Rendahnya literasi digital membuka celah besar bagi pelaku kejahatan siber.
Banyak masyarakat yang aktif menggunakan internet, namun belum memahami cara aman berinteraksi di ruang digital. Ketidaktahuan ini menjadi pintu masuk bagi pelaku kejahatan siber. Tanpa pemahaman tentang hak atas data pribadi, masyarakat cenderung menyerahkan informasi sensitif tanpa pertimbangan, yang berisiko disalahgunakan. Literasi digital bukan hanya soal bisa menggunakan perangkat, tetapi juga mencakup pemahaman tentang etika digital, keamanan data, dan kemampuan mengenali ancaman siber. Tanpa bekal ini, masyarakat mudah terjebak dalam modus penipuan seperti phishing, malware dan pencurian identitas.
Data dan regulasi menunjukkan korelasi kuat antara literasi digital dan keamanan siber.Â
Menurut laporan GoodStats, jumlah serangan siber di Indonesia sepanjang tahun 2024 mencapai 330 kasus, naik dari 323 kasus pada 2023. Jenis serangan yang paling dominan adalah peretasan. Kasus paling mengejutkan terjadi pada bulan September 2024 dimana sebanyak 6 juta data NPWP warga Indonesia dijual di internet (darkweb) dengan harga 150 juta rupiah. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat terdapat 103 kasus dugaan kebocoran data terjadi di instansi pemerintah, ini membuktikan sistem keamanan di instansi negara masih sangat lemah.
UU PDP yang mulai berlaku penuh sejak Oktober 2024, menjadi tonggak penting dalam perlindungan data pribadi di Indonesia. Pemerintah menekankan bahwa setiap organisasi, baik publik maupun swasta, wajib mematuhi ketentuan hukum ini. Pelanggaran terhadap UU PDP dapat dikenakan sanksi administratif hingga 2 persen dari total pendapatan tahunan perusahaan. Namun, para ahli menekankan bahwa keberhasilan UU PDP sangat bergantung pada literasi digital masyarakat. Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia belum diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang memadai, masyarakat masih rentan terhadap berita hoaks dan penipuan online
Literasi digital adalah fondasi keberhasilan UU PDP dan perlindungan siber nasional.
Meningkatkan literasi digital bukan hanya soal menghindari penipuan online, tetapi juga tentang membangun ekosistem digital yang sehat, aman, dan produktif. Literasi digital memungkinkan masyarakat untuk mengenali dan menghindari dari ancaman, Â menggunakan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab, melindungi privasi dan data mendukung penegakan hukum melalui kepatuhan terhadap UU PDP. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga pendidikan dan masyarakat, Indonesia dapat membangun generasi digital yang cerdas dan tangguh menghadapi ancaman siber. Literasi digital bukan hanya solusi teknis, tetapi juga strategi sosial untuk menjaga keamanan dan kedaulatan digital bangsa. Penulis memberikan beberapa strategi untuk meningkatkan literasi digital di masyarakat seperti :
- Meningkatkan jumlah konten dan tayangan edukasi di media online, media cetak, media pemerintahan, televisi dan sosial media. Tentunya kita ingat bagaimana berhasilnya strategi mengedukasi masyarakat edukasi akan bahaya merokok dan gangguan kesehatan.
- Menjadikan literasi digital sebagai kurikulum / mata pelajaran tetap di sekolah sampai perguruan tinggi mengingat saat ini pengguna internet sudah merambah di level anak-anak dengan tingkat sekolah dasar.Â
- Layanan pelaporan dan konsultasi digital (sejenis 911), aparat pemerintah yang terlibat tentunya adalah orang-orang yang mempunyai keahlian dibidang keamanan digital, sehingga dengan cepat dapat melakukan pelacakan terhadap aktifitas kejahatan siber.
- Dibentuknya kolaborasi antara aparat yang berwenang dengan penyelenggara telekomunikasi seperti penyedia fasilitas data / internet, operator seluler, operator satelit, operator tower dan penyedia perangkat. Dengan semakin tersedia banyaknya data yang saling mendukung dan berkaitan, sangat mungkin mempercepat proses pencarian dan penindakan terhadap pelaku kejahatan siber.Â
- Perberat hukuman bagi pelaku kejahatan siber, jika kita melihat dari UU ITE dan UU KUHP untuk hukuman yang diberikan masih cenderung lebih ringan. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI