Mohon tunggu...
Johanes Marno Nigha
Johanes Marno Nigha Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Sedang Senang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Net Zero Emission: Antisipasi Pengambilan Kebijakan Sektor Listrik yang Keliru

24 Oktober 2021   12:06 Diperbarui: 24 Oktober 2021   12:12 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Cina Xi Jinping baru-baru ini membuat pernyataan resmi bersama negara-negara pemodal dan bank untuk menghapus penggunaan batubara dan beralih ke energi Baru terbarukan(EBT).

 Merespon tren global ini, Indonesia lewat Presiden Jokowidodo, telah direncanakan akan hadir  pada konferensi tingkat tinggi (KTT)  perubahan iklim PBB (COP26) di Gaslow Skotlandia pada 31 Oktober -21 November 2021 mendatang

Panggung COP26 kali ini membantu Indonesia untuk mengumumkan komitmennya. Indonesia sendiri mempunyai ambisi  untuk memasukan strategi jangka panjang  dengan tujuan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim 2050 serta target Net Zero Emission selambatnya tahun 2060. Salah satunya adalah meluncurkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih dikenal dengan rencana hijau.

Masalah yang kemudian muncul soal bagaimana memposisikan klaim dan melihat kenyataan di lapangan. Hal ini dapat dilihat misalnya pada 5 Oktober 2021, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif menekankan tentang data lapangan bahwa ada  penambahan pembangkit  Energi Baru Terbarukan mencapai 51,6 persen sedangkan pembangkit fosil hanya 48,4 Persen.

 Kondisi ini malah menegaskan bahwa Indonesia belum berada di jalur yang tepat sebab masih ada penambahan sebanyak 19,6 Gigawatt pembangkit fosil yang akan tetap memicu emisi karbon.

Situasi ini tentu saja berbeda dengan rencana indonesia untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara setelah tahun 2025.

 Tekanan global  terhadap Indonesia dalam hal penurunan emisi karbon sebesar 29 persen lewat usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional terasa belum memadai, bahkan lewat moratorium penghentian pengunaan PLTU berbahan bakar batu bara.

Sebenarnya muncul situasi yang dilematis karena sesungguhnya PLTU menyumbang bagian terbesar dari listrik negara yang kebutuhannya berasal dari batu bara. Produksi batu bara di Indonesia tahun 2019 mencapai 616 Juta ton, dan 76 persen dialokasikan untuk ekspor.

Hal ini membuat Indonesia menjadi negara ekspor batu bara terbesar ke lima dunia dalam cakupan negara-negara G20. Kondisi cadangan batu bara yang melimpah ditambah harga yang murah dan efisiensi yang tinggi membuat PLTU menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional. Walaupun tetap saja penggunaan batu bara memicu emisi karbon dari konteks lingkungan juga sosial masyarakat.

Apabila  moratorium diberlakukan dan   dimulai di tahun 2025 maka apa yang akan terjadi dengan PLTU itu sendiri? Di satu sisi tekanan global cukup masif merujuk pada persetujuan Paris untuk pengurangan emisi karbon sedangkan di sisi lain ketergantungan listrik terhadap PLTU  di Indonesia amat kuat. Transisi dari energi fosil seperti batu bara tentu saja membutuhkan waktu dan persiapan yang matang. Namun ini menjadi harapan baru bagi penggunaan energi yang ramah lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun