Mohon tunggu...
Johana AndrianiNainggolan
Johana AndrianiNainggolan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Mahasiswa dari UNIMED jurusan PPKn. Adapun hobi saya yaitu membaca, olahraga, menulis dan mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merambah Tradisi: Eksplorasi Budaya, Sejarah dan Keunikan Desa Cirendeu yang Mempantangkan Nasi

7 Maret 2024   23:31 Diperbarui: 7 Maret 2024   23:34 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

         Di Kota Cimahi, terdapat sebuah kampung yang dikenal masih memegang teguh kelestarian tradisi dan budaya dari nenek moyang. Desa adat Cirendeu terdiri dari dua suku kata yaitu "ci" dan "rendeu", ci yang berarti desa yang sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun sedangkan rendeu adalah jenis tumbuhan yang banyak tumbuh di daerah tersebut atau pohon untuk obat herbal.  Alasan diberikan nama desa Cirendeu dikarenakan banyaknya jenis tumbuhan atau pohon rendeu sehingga nama desa tersebut dinamakan oleh desa Cirendeu. Menurut sesepuh yang berada di kampung adat ini. Keberadaan desa Cirendeu sendiri sudah ada sejak tahun 1917-an, bahkan sebelum Kota Cimahi ada. Kebanyakan masyarakat di desa Cirendeu memegang teguh kepercayaan yang dinamakan Sunda wiwitan. Ajaran kepercayaan ini dipercaya dari nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun dan masih dilestarikan hingga sekarang. Masyarakat Cirendeu tidak memakan nasi tetapi memakan makanan rasi yaitu nasi singkong, hal ini dikarenakan nenek moyang mereka telah mengambil sumpah bahwasanya mereka tidak akan memakan nasi lagi dan sumpah tersebut masih dijaga/dilestarikan oleh cucu dan penerus mereka hingga sekarang. Konon katanya nenek moyang mereka bersumpah untuk tidak makan nasi dikarenakan bentuk perlawanan kepada penjajahan Belanda yang dimana Belanda memaksa untuk membayar upeti berupa beras dan hasil panen masyarakat tersebut sehingga mereka melakukan perlawanan kepada penjajahan bangsa Belanda.

         Mayoritas masyarakat di desa tersebut adalah sunda wiwitan. Sunda Wiwitan berasal dari kata sunda dan wiwitan. dapat diartikan bahwa Sunda Wiwitan berarti Sunda asal atau Sunda asli atau disebut juga agama Jati Sunda. Ia diyakini sebagai sebuah agama yang besar. Agama leluhur bangsa yang sangat peduli terhadap alam dan sopan santun. Adapun pandangan masyarakat adat Cireundeu terhadap agama adalah ageman (pegangan) untuk tuntunan hidup (keselamatan) yang tidak bisa lepas dari pemaknaan budaya yang artinya ketika seseorang beragama maka secara tidak langsung dan tidak disadari ia sedang menjalankan dan memaknai budaya yang melekat pada agama yang dianut.  

          Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand phone, dan penerangan.

         Masyarakat kampung Cireundeu memiliki  kesenian gondang, karinding, serta  angklung buncis yang biasanya ditampilkan dalam ritual upacara adat tertentu. Angklung Buncis merupakan alat musik yang tidak terpisahkan dari upacara Seren Tau. Angklung Buncis dikembangkan oleh masyarakat Paseban, dinamakan angkung buncis dikarenakan lagu yang dimainkan adalah lagu buncis, juga karena buncis memiliki arti tersendiri "Budaya Urang Nurutkeun Ciri Sunda". Angklung ini dibuat dari bambu hitam yang berumur 3-4 tahunKesenian angklung buncis di Cireundeu biasa disajikan ketika upacara syukuran panen. Namun, sejalannya dengan waktu fungsi kesenian ini semakin luas. Tidak hanya untuk upacara syukur panen saja, saat ini digunakan untuk penyambutan tamu atau acara kebudayaan lain di dalam maupun di luar Cireundeu. Di lihat dari fisiknya, aklung buncis memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan angklung diatonis. Warna bunyi yang dihasilkanpun lebih khas dan bernada lebih rendah.  Angklung yang biasa kita lihat dan pelajari di sekolah adalah angklung diatonis, bernada doremi. Sedangkan angklung buncis (buhun) memiliki sistem nada tersendiri. Biasanya menggunakan sistem nada pentatonis yang khas, tepatnya laras salendro, namun terkadang berbeda pula dengan laras salendro. 

dok. pri
dok. pri

        Masyarakat adat Kampung Cireundeu berpedoman pada prinsip hidup yang mereka anut yaitu: “Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat” yang maksudnya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Dengan maksud lain agar manusia ciptaan Tuhan tidak bergantung pada satu saja, misalnya sebagai bahan makanan pokok negara Indonesia yaitu beras. Pandangan masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki alternatif dalam bahan makanan pokok yaitu ketela atau singkong Masyarakat di desa cirendeu tidak boleh/pantang memakan nasi. Mereka tidak memakan nasi karena menghormati nenek moyang yang telah membuat sumpah untuk tidak memakan nasi tersebut. 

Sebagai gantinya masyarakat didesa tersebut memakan olahan dari berbagai macam yang berasal dari singkong salah satu yang terkenal adalah beras singkong. Hal itu dikarenakan pada tahun  1918 ketika sawah-sawah yang mengering. Kemu­dian para leluhur menyarankan dan berpesan untuk menanamkan ketela sebagai pengganti padi. Karena tanaman ketela dapat dita­nam pada musim kering maupun musim hujan dan melihat ketersediaan lahan untuk menanam padi semakin sempit dan kecil, banyak sawah-sawah yang telah berganti gedung. Selain itu sebagai bentuk perlawanan nenek moyang mereka terhadap penjajahan belanda yang mengumpulkan upeti. Sejak 1924 masyarakat adat Cireundeu mulai mengon­sumsi singkong hingga saat ini. Masyarakat adat mengolah singkong dengan cara digiling, diendapkan dan disaring men­jadi aci atau sagu. Ampas dari olahan sagu yang dikeringkan juga dibuat men­jadi rasi atau beras singkong. Tidak hanya itu, singkongpun diolah menjadi berbagai camilan seperti opak, egg roll, cireng, simping, bolu, bahkan dendeng kulit singkong yang dikemas dan dijual sebagai oleh-oleh.

     Masyarakat di desa Cirendeu melaksanakan ritual yang dinamakan Ritual Suraan. Salah satu ritual keagamaan besar yang dilakukan setiap tahunnya oleh masyarakat Kampung Cireundeu yaitu peringatan Tahun Baru 1 Sura. Ritual ini adalah upacara adat yang dilaksanakan sebagai upacara Nutup Taun (tutup tahun) dan Ngemban Taun (menyambut tahun baru) Saka dalam penanggalan Sunda. Masyarakat kampung adat Cireundeu akan melaksanakan musyawarah untuk memutuskan tanggal satu Sura menurut perhitungan tahun saka sunda. Rangkaian ritual Suraan diawali dengan acara syukuran yang dilaksanakan tepat pada tanggal satu Sura di Bale Sarasehan. Terdapat gunungan sajen yang terdiri dari aneka ragam buah-buahan dan rasi Selanjutnya acara ini ditutup dengan prosesi saling meninta maaf atau sungkem. Selain itu, tidak jarang warga juga mengajak bersalaman para pengunjung yang datang. Selanjutnya dilaksanakan puncak acara Suraan pada pertengahan bulan Sura atau saat akan nutup bulan Sura. Penentuan tanggalnya juga dipilih melalui musyawarah masyarakat adat dengan mempertimbangkan banyak hal. Puncak acara Suraan dilaksanakan tiga hari berturut-turut dengan serangkaian acara-acara yang ditampilkan seperti "Damar Sewu" (seribu obor), arak-arakan, kesenian angklung buncis, ritual ngajayak. Setelah itu ada pentas kesenian seperti rampak kendang, umbul-umbul, diikuti dengan kaulinan barudak yaitu oray-orayan. Puncak acara Suraan ini diakhiri dengan menampilkan hiburan kepada penonton yaitu hiburan wayang golek. Gotong-royong dan kerjasama sangat terlihat dalam rangkaian ritual Suraan, dimulai dari persiapan saat mendekati bulan Sura sampai selesainya puncak acara Suraan, semua lapisan masyarakat turut membantu terselenggaranya acara.

Sertifikat Penghargaan/dok. pir
Sertifikat Penghargaan/dok. pir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun