Di tengah gemuruh modernitas yang menggerus banyak nilai-nilai tradisional, Ranah Minang tetap mempertahankan satu institusi sosial yang begitu khas dan vital. Namanya lapau atau warung kopi.
Bukan sekadar tempat menjual minuman atau makanan ringan saja, lapau adalah denyut nadi kehidupan sosial masyarakat. Ia adalah ruang dialog, arena musyawarah, sekolah kehidupan, bahkan panggung politik rakyat.
Setiap malam, bangku kayu panjang di lapau akan dipenuhi oleh berbagai kalangan, baik tua maupun muda apapun profesinya.
Dari petani, guru, tokoh adat, perantau yang pulang kampung, pelajar dan anak muda yang sedang merintis usaha.
Bagi masyarakat Minangkabau pada umumnya, lapau merupakan  sebuah lembaga nonformal tempat membangun suatu interaksi, bersosialisasi, bertukar informasi dan berdiskusi.
Lapau merupakan tempat yang wajib didatangi kaum laki-laki. Tidak sulit mencari keberadaan lapau, bahkan dalam satu nagari, jumlahnya lebih dari dua kepal tangan.
Di sinilah, segala hal dibicarakan, dari urusan pertanian, isu-isu kampung, hingga perkembangan politik nasional.
Tak jarang, lapau juga menjadi tempat menyampaikan kritik sosial secara santun. Tanggapan terhadap kebijakan pemerintah yang disampaikan melalui candaan atau diskusi ringan yang lebih mudah diterima akal.
Di Minangkabau, lapau menjadi tempat orang "maota", berbincang santai namun mendalam. Budaya bermusyawarah yang sangat dijunjung tinggi dalam adat Minang, secara informal tumbuh subur di lapau. Berbagai masalah acap kali lebih cepat diselesaikan di sini, dibandingkan di kantor wali nagari.
Seiring perkembangan zaman, media sosial menjadi salah satu tempat pergumulan, fasilitas berkomunikasi dalam genggaman itu membuat manusia bisa berkenalan dengan teman baru, melihat informasi dengan mudah dan tidak jarang sebagai tempat mencari teman lama yang sudah tidak diketahui kabarnya.