Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Beli Buku di Titi Gantung: Sebuah Nostalgia

7 Mei 2021   04:10 Diperbarui: 7 Mei 2021   04:14 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar: https://www.youtube.com/watch?v=GmsA7g8wvUA

Kios-kios Buku di Titi Gantung, Medan.

Buat: Semua sahabatku dari Farmasi '85 USU.

Bulan Maret 2021 yang lalu, ketika saya belum mulai menjadi seorang Kompasianer, tiba-tiba saya teringat akan Titi Gantung yang menjadi salah sebuah nostalgia saya ketika masih kuliah di Jurusan Farmasi FMIPA USU Medan (sekarang Fakultas Farmasi USU).

Saya ingin menuangkan nostalgia ini dan berbagi kepada para pembaca, tapi malah lebih dulu menayangkan kisah Warung Nenek (Saat Ramadan di Warung Nasi dalam Gang Sempit), dan koleksi buku saya (Koleksi Buku di Perpustakaan Pribadi Johan Japardi), padahal dalam artikel yang satu ini terdapat sejarah buku yang lenyap digerogoti rayap, dan buku-buku tersebut sebagian berasal dari Titi Gantung. Apa itu?

Kalau dulu di Jakarta Lapangan Banteng terkenal sebagai sumber buku-buku bekas, kemudian Terminal Pasar Senen, Kwitang, Blok M Square, dll., lalu Bandung dengan Palasarinya, maka Medan sejak dulu terkenal dengan Titi Gantungnya. Di Sumatera Utara, titi bisa bermakna jembatan kecil maupun besar, dan tempat ini disebut Titi Gantung karena lebih tinggi ketimbang jembatan biasa, sehingga kelihatan tergantung.

Toko-toko buku bekas yang ada di wilayah-wilayah yang saya sebutkan ini sebenarnya bukan hanya menyediakan buku bekas, buku baru juga ada. Mungkin penamaan ini untuk membedakannya dengan toko buku yang seluruh jualannya adalah buku baru, seperti BPK Gunung Mulia, Gramedia, Gunung Agung, dll.

Karena saya seorang pelacak buku, saya familiar dengan semua tempat ini, dan akan menuliskan sebuah artikel lain tentang toko-toko buku bekas.

Di bulan Maret 2021 itu saya melakukan sedikit penelusuran daring dan menemukan sebuah berita yang mengejutkan, "Kios Buku Titi Gantung Bak Kota Mati, Pedagang Menjerit Tak Ada Pembeli, Penjualan Anjlok 90 Persen," yang diunggah oleh Tribun MedanTV.

Berita ini mengulas tentang imbas belajar daring di tengah pandemi Covid-19 yang membuat para pedagang buku bekas menjerit lantaran tidak ada pembeli yang berkunjung. Dan dari pantauan Tribun Medan, Senin (24/8/2020) suasana toko buku bekas di Titi Gantung yang berada persis di dekat Stasiun Kereta Api Medan tampak sepi dan banyak toko yang lebih memilih untuk tutup.

Sejarah Titi Gantung
Atas keinginan Belanda untuk mengadakan sarana transportasi massal di Sumatera Utara, maka sebuah perusahaan swasta, Naamlooze Venootschap Deli Spoorweg Maatschappij (PT Keretaapi Deli) pun membangun Stasiun Keretaapi Medan pada 1883.

Pada 1885 (2 tahun kemudian), Titi Gantung dibangun tidak jauh dari Stasiun Keretaapi Medan dan Lapangan Merdeka Medan. Titi bergaya klasik ini menghubungkan Jalan Stasiun Keretaapi dengan Jalan Jawa, Kota Medan, dan dibangun agar warga tidak sembarangan melintasi rel. Titi sepanjang 45 meter ini ditopang oleh tembok dengan ketinggian 6-7 meter. Uniknya, meski dibangun 136 tahun yang lalu, jembatan ini sudah memperhatikan hak pejalan kaki dengan adanya tangga khusus di kedua sisi pintu keluar-masuk.

Beberapa laman yang menyiarkan berita terkait Titi Gantung memang menyertakan foto-foto titi ini, namun saya teringat akan museum kebudayaan dunia, yaitu Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda, dari mana saya pernah mengunduh foto-foto kota Tanjungbalai Asahan zaman dulu, dan saya pun lalu mencari informasi tentang Titi Gantung dari laman ini dan menemukan sebuah foto lama.

https://collectie.wereldculturen.nl/
https://collectie.wereldculturen.nl/
Titi Gantung 1924-1932.

Catatan:
Orang Belanda jarang mencantumkan waktu kejadian dengan tepat, melainkan hanya rentang waktu, seperti foto ini.

Persis 100 tahun setelah Titi Gantung dibangun, saya diterima di Jurusan Farmasi FMIPA USU Medan. Sampai dengan 5 tahun kemudian (1990), setiap minggu saya masih bolak-balik dengan keretaapi dari Medan ke Tanjungbalai Asahan karena saya kuliah di Medan sambil kerja di Tanjungbalai.

Untuk pengadaan buku kuliah, saya pun mulai menjajaki kios-kios buku di Titi Gantung. Setiap bulan, setelah gajian, saya selalu ke Titi Gantung dari rumah orangtua saya di Jalan Aksara dengan menumpangi Sudako, angkot khas Medan. Alhasil, saya saling kenal dengan hampir semua pedagang buku di Titi Gantung pada masa itu.

Lama kelamaan, akibat keranjingan beli buku di Titi Gantung, saya sampai menghabiskan uang bawaan saya untuk beli buku, dan pulang ke Jalan Aksara dengan berjalan kaki sambil menenteng buku! Sekarang, saya cek dengan peta Google, jarak yang saya tempuh itu 3,3 - 3,8 km dengan waktu tempuh 42-47 menit. Setelah beberapa kali mengalami kehabisan uang ini, saya pun lalu berimprovisasi, meminjam ongkos pulang dari pedagang buku yang sudah saya kenal dekat!

Sekarang, Titi Gantung telah menjadi sebuah nostalgia masa muda saya, semua buku yang saya beli dari sana juga tidak bisa saya lihat lagi, dan saya sangat prihatin dengan keadaan Titi Gantung saat ini. Mudah-mudahan semuanya cepat kembali normal lagi.

Jonggol, 7 Mei 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun