Mohon tunggu...
Sigit Purwanto Ipung
Sigit Purwanto Ipung Mohon Tunggu... CEO and Founder Tempe Pinilih

bersama sebotol ciu menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ada yang Gratis dan Canggih, Malah Pilih Bajakan

23 September 2025   08:28 Diperbarui: 23 September 2025   11:05 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2023 di Manado. Udara sore yang hangat menyusup ke dalam ruang pelatihan yang mulai riuh. Lima puluh peserta, orang-orang pilihan dari NTB, NTT, Maluku, Sulawesi, hingga Papua, sedang mempersiapkan sesi pertama kami. Mereka adalah calon fasilitator, ujung tombak perubahan di daerahnya masing-masing. Pelatihan ini akan berlangsung sepuluh hari, dan laptop adalah senjata utama mereka.

"Silakan buka dan hidupkan laptop masing-masing," instruksi saya menggema pelan.

Satu per satu layar mulai menyala, memancarkan cahaya biru dan putih ke wajah-wajah penuh semangat itu. Namun, ketika semua laptop telah siap, badalaahhhh... pemandangan yang tersaji di hadapan saya membuat dahi saya berkerut. Di sana-sini, notifikasi pop-up yang mengganggu bermunculan seperti jamur di musim hujan. "Your Windows license will expire soon." "Activate Windows. Go to Settings to activate Windows."

Saya berkeliling ruangan. Ketika mereka membuka aplikasi Microsoft Office, sambutan serupa muncul. Sebuah spanduk merah di bagian atas layar mengingatkan bahwa produk tersebut belum diaktivasi. Mereka hanya mengabaikannya, seolah itu adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman berkomputer.

Di tengah lautan notifikasi bajakan itu, seorang peserta yang menggunakan MacBook Air mengangkat tangan. "Pak, saya pakai MacOS. Ada rekomendasi aplikasi office gratisan yang bagus dan legal?" tanyanya dengan polos.

Sebuah senyum kecil tersungging di bibir saya. Inilah percikan yang saya butuhkan. "Tentu ada. Coba unduh dan install LibreOffice. Gratis, legal, dan fiturnya sangat lengkap," saran saya. Ia mengangguk dan langsung mulai mengunduh.

Kejadian itu mungkin tampak sepele, sebuah peristiwa biasa dalam sebuah pelatihan. Namun dari kacamata saya, ini adalah wajah dari kesenjangan digital yang akut. Mereka ini bukan orang sembarangan. Mereka telah melalui seleksi ketat, dipercaya untuk mempresentasikan rencana kegiatan, anggaran, dan perkembangan proyek di hadapan masyarakat, tokoh adat, hingga pejabat daerah.

Saya merenung, melontarkan pertanyaan dalam hati. Apa mereka tidak merasa malu melakukan presentasi penting dengan laptop yang terus-menerus "berteriak" bahwa perangkat lunaknya ilegal? Apakah menggunakan sistem operasi dan aplikasi bajakan sudah menjadi hal yang begitu lumrah hingga tak lagi dianggap salah? Atau yang paling mungkin, apakah mereka sama sekali tidak tahu bahwa ada dunia lain di luar sana, dunia perangkat lunak yang tidak hanya gratis, tetapi juga legal, canggih, dan mencerdaskan?

Saya tidak bisa membiarkan pelatihan ini berjalan dengan fondasi yang keropos. "Baik, Bapak dan Ibu sekalian," saya mengambil alih perhatian. "Saya lihat banyak laptop yang terkendala notifikasi aktivasi. Untuk hari ini, ikuti instruksi saya. Kita akan melakukan sedikit 'cheating' agar notifikasi itu hilang sementara dan laptopnya bisa digunakan dengan baik."

Langkah darurat itu saya ambil agar proses belajar tidak terhambat. Namun, saya tegaskan, itu hanya untuk sementara.
"Besok," lanjut saya dengan nada tegas namun bersahabat, "mulai hari kedua sampai hari kesepuluh, saya ingin semua laptop di ruangan ini sudah menggunakan sistem operasi dan aplikasi yang legal. Jadi, malam ini kita akan buka kelas tambahan. Siapa yang mau ikut, kita akan sama-sama menginstall sistem operasi dan aplikasi gratisan di laptop masing-masing."

Malamnya, lebih dari separuh peserta berkumpul kembali di ruang pelatihan. Wajah mereka dipenuhi rasa penasaran. Saya memulai sesi dengan sebuah pertanyaan sederhana: "Siapa yang pernah dengar nama 'Linux'?"
Hening. Hanya beberapa gelengan kepala.

"Baik," saya tersenyum. "Linux adalah sebuah sistem operasi, sama seperti Windows atau MacOS. Bedanya, Linux secara garis besar gratis, sumbernya terbuka, sangat aman dari virus, dan yang terpenting, ia mencerdaskan penggunanya. Ia tidak menyembunyikan cara kerjanya. Ia mengajak kita untuk belajar dan berkreasi."

Untuk membuat konsep itu nyata, saya menyalakan proyektor dan menampilkan layar laptop saya sendiri. "Lihat laptop ini," kata saya sambil menunjuk mesin tua di hadapan saya. "Ini laptop kuno. Saya beli dadakan jam 10 malam di Walmart Arizona tahun 2017. Harganya cuma tiga juta rupiah, kosongan tanpa sistem operasi, karena laptop saya yang lama rusak sore itu juga."

Saya melanjutkan cerita saya. "Spesifikasinya sangat rendah. Prosesornya AMD kelas bawah, RAM cuma 4 Giga. Kalau diinstall Windows terbaru, mungkin sudah megap-megap. Tapi lihat," saya mendemonstrasikan dengan membuka beberapa aplikasi sekaligus, "dia mampu bekerja optimal mengolah data, membuat presentasi, bahkan mengedit video ringan. Rahasianya? Dia menggunakan Ubuntu 24.04, salah satu varian dari Linux."

Mata mereka terpaku pada layar. Saya menjelaskan lebih lanjut. "Untuk laptop Bapak-Ibu yang spesifikasinya tinggi, bisa install Ubuntu seperti saya. Bagi yang laptopnya mungkin sedikit lebih tua, ada pilihan lain yang lebih ringan, namanya Linux Mint. Silakan dipilih sesuai kondisi laptop masing-masing."

Saya juga menunjukkan kepada mereka sebuah "kamus" perintah dasar terminal (bashline command) yang bisa mereka unduh dan pelajari. Sebuah gerbang menuju kontrol penuh atas mesin mereka.

Reaksi di ruangan itu beragam. Ada yang tertegun, seolah baru saja menemukan sebuah dunia baru. Ada yang tampak bingung, mungkin sedikit gentar dengan hal yang asing. Namun, sebagian besar langsung bersemangat. Mereka mencari tautan unduhan, dan proses transformasi digital itu pun dimulai. Sebagian besar mengunduh Ubuntu, hanya segelintir yang memilih Linux Mint. Beberapa yang ragu-ragu akhirnya ikut mencoba setelah melihat teman di sebelahnya berhasil.

Malam itu, ruang pelatihan kami berubah menjadi bengkel oprek massal yang dipenuhi semangat belajar.
Pelatihan sepuluh hari itu akhirnya usai. Namun, hubungan saya dengan mereka tidak berhenti di sana. Sampai hari ini, saya masih menjadi mentor mereka. Bukan hanya mentor dalam melaksanakan tugas-tugas lapangan yang berat, tetapi juga mentor dadakan untuk "ngoprek" Linux. Di grup WhatsApp kami, pertanyaan tentang pekerjaan sering kali diselingi dengan, "Pak, cara install aplikasi X di Ubuntu bagaimana?" atau "Pak, command untuk lihat sisa storage apa ya?"

Dan setiap kali membaca pertanyaan itu, saya tersenyum. Mereka tidak hanya membawa pulang ilmu fasilitasi, tetapi juga kemerdekaan digital. Mereka kini berdiri di hadapan para pejabat, mempresentasikan ide-ide cemerlang mereka dengan laptop yang legal, canggih, dan sepenuhnya milik mereka. Sebuah simbol kecil dari integritas yang mereka bawa ke tengah masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun