Mohon tunggu...
Sigit Purwanto Ipung
Sigit Purwanto Ipung Mohon Tunggu... CEO and Founder Tempe Pinilih

bersama sebotol ciu menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ada yang Gratis dan Canggih, Malah Pilih Bajakan

23 September 2025   08:28 Diperbarui: 23 September 2025   11:05 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Baik," saya tersenyum. "Linux adalah sebuah sistem operasi, sama seperti Windows atau MacOS. Bedanya, Linux secara garis besar gratis, sumbernya terbuka, sangat aman dari virus, dan yang terpenting, ia mencerdaskan penggunanya. Ia tidak menyembunyikan cara kerjanya. Ia mengajak kita untuk belajar dan berkreasi."

Untuk membuat konsep itu nyata, saya menyalakan proyektor dan menampilkan layar laptop saya sendiri. "Lihat laptop ini," kata saya sambil menunjuk mesin tua di hadapan saya. "Ini laptop kuno. Saya beli dadakan jam 10 malam di Walmart Arizona tahun 2017. Harganya cuma tiga juta rupiah, kosongan tanpa sistem operasi, karena laptop saya yang lama rusak sore itu juga."

Saya melanjutkan cerita saya. "Spesifikasinya sangat rendah. Prosesornya AMD kelas bawah, RAM cuma 4 Giga. Kalau diinstall Windows terbaru, mungkin sudah megap-megap. Tapi lihat," saya mendemonstrasikan dengan membuka beberapa aplikasi sekaligus, "dia mampu bekerja optimal mengolah data, membuat presentasi, bahkan mengedit video ringan. Rahasianya? Dia menggunakan Ubuntu 24.04, salah satu varian dari Linux."

Mata mereka terpaku pada layar. Saya menjelaskan lebih lanjut. "Untuk laptop Bapak-Ibu yang spesifikasinya tinggi, bisa install Ubuntu seperti saya. Bagi yang laptopnya mungkin sedikit lebih tua, ada pilihan lain yang lebih ringan, namanya Linux Mint. Silakan dipilih sesuai kondisi laptop masing-masing."

Saya juga menunjukkan kepada mereka sebuah "kamus" perintah dasar terminal (bashline command) yang bisa mereka unduh dan pelajari. Sebuah gerbang menuju kontrol penuh atas mesin mereka.

Reaksi di ruangan itu beragam. Ada yang tertegun, seolah baru saja menemukan sebuah dunia baru. Ada yang tampak bingung, mungkin sedikit gentar dengan hal yang asing. Namun, sebagian besar langsung bersemangat. Mereka mencari tautan unduhan, dan proses transformasi digital itu pun dimulai. Sebagian besar mengunduh Ubuntu, hanya segelintir yang memilih Linux Mint. Beberapa yang ragu-ragu akhirnya ikut mencoba setelah melihat teman di sebelahnya berhasil.

Malam itu, ruang pelatihan kami berubah menjadi bengkel oprek massal yang dipenuhi semangat belajar.
Pelatihan sepuluh hari itu akhirnya usai. Namun, hubungan saya dengan mereka tidak berhenti di sana. Sampai hari ini, saya masih menjadi mentor mereka. Bukan hanya mentor dalam melaksanakan tugas-tugas lapangan yang berat, tetapi juga mentor dadakan untuk "ngoprek" Linux. Di grup WhatsApp kami, pertanyaan tentang pekerjaan sering kali diselingi dengan, "Pak, cara install aplikasi X di Ubuntu bagaimana?" atau "Pak, command untuk lihat sisa storage apa ya?"

Dan setiap kali membaca pertanyaan itu, saya tersenyum. Mereka tidak hanya membawa pulang ilmu fasilitasi, tetapi juga kemerdekaan digital. Mereka kini berdiri di hadapan para pejabat, mempresentasikan ide-ide cemerlang mereka dengan laptop yang legal, canggih, dan sepenuhnya milik mereka. Sebuah simbol kecil dari integritas yang mereka bawa ke tengah masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun