Tahun 2023 di Manado. Udara sore yang hangat menyusup ke dalam ruang pelatihan yang mulai riuh. Lima puluh peserta, orang-orang pilihan dari NTB, NTT, Maluku, Sulawesi, hingga Papua, sedang mempersiapkan sesi pertama kami. Mereka adalah calon fasilitator, ujung tombak perubahan di daerahnya masing-masing. Pelatihan ini akan berlangsung sepuluh hari, dan laptop adalah senjata utama mereka.
"Silakan buka dan hidupkan laptop masing-masing," instruksi saya menggema pelan.
Satu per satu layar mulai menyala, memancarkan cahaya biru dan putih ke wajah-wajah penuh semangat itu. Namun, ketika semua laptop telah siap, badalaahhhh... pemandangan yang tersaji di hadapan saya membuat dahi saya berkerut. Di sana-sini, notifikasi pop-up yang mengganggu bermunculan seperti jamur di musim hujan. "Your Windows license will expire soon." "Activate Windows. Go to Settings to activate Windows."
Saya berkeliling ruangan. Ketika mereka membuka aplikasi Microsoft Office, sambutan serupa muncul. Sebuah spanduk merah di bagian atas layar mengingatkan bahwa produk tersebut belum diaktivasi. Mereka hanya mengabaikannya, seolah itu adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman berkomputer.
Di tengah lautan notifikasi bajakan itu, seorang peserta yang menggunakan MacBook Air mengangkat tangan. "Pak, saya pakai MacOS. Ada rekomendasi aplikasi office gratisan yang bagus dan legal?" tanyanya dengan polos.
Sebuah senyum kecil tersungging di bibir saya. Inilah percikan yang saya butuhkan. "Tentu ada. Coba unduh dan install LibreOffice. Gratis, legal, dan fiturnya sangat lengkap," saran saya. Ia mengangguk dan langsung mulai mengunduh.
Kejadian itu mungkin tampak sepele, sebuah peristiwa biasa dalam sebuah pelatihan. Namun dari kacamata saya, ini adalah wajah dari kesenjangan digital yang akut. Mereka ini bukan orang sembarangan. Mereka telah melalui seleksi ketat, dipercaya untuk mempresentasikan rencana kegiatan, anggaran, dan perkembangan proyek di hadapan masyarakat, tokoh adat, hingga pejabat daerah.
Saya merenung, melontarkan pertanyaan dalam hati. Apa mereka tidak merasa malu melakukan presentasi penting dengan laptop yang terus-menerus "berteriak" bahwa perangkat lunaknya ilegal? Apakah menggunakan sistem operasi dan aplikasi bajakan sudah menjadi hal yang begitu lumrah hingga tak lagi dianggap salah? Atau yang paling mungkin, apakah mereka sama sekali tidak tahu bahwa ada dunia lain di luar sana, dunia perangkat lunak yang tidak hanya gratis, tetapi juga legal, canggih, dan mencerdaskan?
Saya tidak bisa membiarkan pelatihan ini berjalan dengan fondasi yang keropos. "Baik, Bapak dan Ibu sekalian," saya mengambil alih perhatian. "Saya lihat banyak laptop yang terkendala notifikasi aktivasi. Untuk hari ini, ikuti instruksi saya. Kita akan melakukan sedikit 'cheating' agar notifikasi itu hilang sementara dan laptopnya bisa digunakan dengan baik."
Langkah darurat itu saya ambil agar proses belajar tidak terhambat. Namun, saya tegaskan, itu hanya untuk sementara.
"Besok," lanjut saya dengan nada tegas namun bersahabat, "mulai hari kedua sampai hari kesepuluh, saya ingin semua laptop di ruangan ini sudah menggunakan sistem operasi dan aplikasi yang legal. Jadi, malam ini kita akan buka kelas tambahan. Siapa yang mau ikut, kita akan sama-sama menginstall sistem operasi dan aplikasi gratisan di laptop masing-masing."
Malamnya, lebih dari separuh peserta berkumpul kembali di ruang pelatihan. Wajah mereka dipenuhi rasa penasaran. Saya memulai sesi dengan sebuah pertanyaan sederhana: "Siapa yang pernah dengar nama 'Linux'?"
Hening. Hanya beberapa gelengan kepala.