Mohon tunggu...
Ipung Jogjangler
Ipung Jogjangler Mohon Tunggu... Wiraswasta - Fasilitator ketangguhan bencana dan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat

menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kidung Ibuku

10 November 2023   07:52 Diperbarui: 10 November 2023   08:11 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara lesung beradu dengan alu membuatku terbangun. Pagi-pagi sekali ibu menumbuk gaplek karena romo menghendaki sarapan tiwul. Hari ini aku baru menyadari sarapan tiwul itu menjadi saat terakhirku melihat romo sekaligus merubah cara pandang seumur hidupku tentang romo.

Langit masih gelap dan udara begitu dingin. Aku tak mungkin kembali tidur dengan suara lesung itu. Lebih baik aku ke dapur membantu ibu sebisaku atau setidaknya menemaninya di depan tungku. Seandainya saja saat itu kami punya jam dinding aku bisa menceritakan jam berapa aku terbangun.

Ibu tersenyum ke arahku saat aku memasuki pintu dapur. "Maaf ibu jadi membangunkanmu nak," katanya ketika aku menghampiri dan memeluknya. "Kamu kedinginan?" Lanjutnya. Aku mengangguk pelan. Ibu bangkit, merundukkan punggungnya agar tangan kanannya bisa memeluk pundakku, membimbingku ke depan tungku. Tangan kirinya ia gunakan untuk membawa lampu senthir.

"Tolong ambilkan kayu bakar, nanti ibu bantu menyalakan supaya kamu lebih hangat dan dapur ini menjadi sedikit lebih terang," pintanya. Kuambil seikat kayu bakar, dua potong bambu kering serta segenggam ranting kering.

"Buk, tidak ada daun kering atau kulit kayu," kataku sambil duduk di dingklik depan tungku. Kami biasa menggunakan daun kering atau kulit kayu untuk mengawali nyala api pada kayu bakar di dalam tungku.

"Tidak apa-apa nak, kita pakai kertas ini," jawab ibu sambil sambil berdiri lalu merogoh setagen, mengeluarkan kertas, membuka lipatannya hingga terlihat lembaran utuh kertas putih bertulisan warna hitam. Masih jelas dalam ingatanku, ibu tertegun beberapa saat menatapi kertas itu sebelum akhirnya menjadikannya sebuah gulungan.

Dengan senthir di samping tungku ibu membakar ujung gulungan kertas itu. Ada senyum kecil di bibirnya saat api mulai menyala di ujung gulungan. Api dari kertas menyalakan ranting-ranting kering.

* * * *

Kuhentikan sarapan tiwul di dapur saat aku mendengar suara piring jatuh di teras rumah. Aku sangat ingin tahu dari mana asal suara itu dan mengapa suara itu bisa ada.

"Masuk!" Romo membentakku saat aku sampai di teras. Sekilas aku melihat ibu tertunduk sangat dalam sehingga seperti membungkuk. Ada pecahan piring terserak di lantai tepat di antara kursi romo dan ibu.

Aku kembali masuk, sembunyi di balik pintu. Kudengar ibu berkata sangat lirih kepada romo. Begitu lirih sehingga kata-katanya tak kumengerti. Sementara romo membalas dengan membentak disertai omelan panjang. Aku sama sekali tidak mengerti arti kata-kata dalam bentakan dan omelan romo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun