Mohon tunggu...
Jauhari Samalanga
Jauhari Samalanga Mohon Tunggu... -

praktisi seni Aceh di Banda Aceh. Dibesarkan dan lahir di Aceh Tengah 19 Januari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenang Tokoh Pande Besi B3 di Gayo

5 April 2011   18:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:05 5843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1302028596149076297

[caption id="attachment_98996" align="alignleft" width="200" caption="ISTIMEWA"][/caption] Warga Aceh Tengah dan Bener Meriah identik petani. Walau sudah menjadi pejabat, tetap ikut bertani, itulah gayo uang identik dengan pertanian.

Untuk itu, hal yang mendesak bagi petani tentu saja perkakas bertani, ya hasil hasil kerja pandai besilah maksudnya seperti Parang, cangkul, pisau, golok, dan lain-lain. Dan siapaun petaninya, yang diperlukan adalah kualitas dari perlengkapan tadi, agar tidak mudah bengkok atau tidak pecah atau saat beradu dengan benda keras. Juga tidak kerap berurusan dengan batu asah atau kikir (alat penajam dari besi kasar) karena mudah besi yang dipilih berkualitas jelek.

Menjawab semua itu, petani Gayolah yang paling faham kebutuhannya. Mereka dipastikan memilih parang B3, parang buatan Ilyas Ibrahim di pandai besi di Simpang Wariji, Takengon Aceh tengah.

Djamaluddin misalnya, petani kebun di kampung Kenawat Lut, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah menyatakan jika bukan cap B3 dirinya tak akan membeli parang atau cangkul sebagai alatnya ke kebun. “Untuk apa dibeli jika kemudian cepat rusak dan harus beli lagi. Makanya, saya memilih parang cap B3 untuk peralatan saya,karena sudah terjamin kualitasnya” kata Djamaluddin pensiunan guru ini.

Tentu saja, cerita diatas sudah berlalu beberapa saat, dan itu tetap menjadi kenangan masyarakat di gayo. Apa yang membikin petani terkesan dengan parang bikinian Ilyas Ibrahim itu? Mahmude alias Dongkol, petani yang kini berumur 87 tahun itu mengaku berteman dekat dengan Ilyas Ibrahim sejak mereka muda. Simpang Pet Kecamatan Bebesen itu mengaku, banyak melewati suka duka bersama Ilyas, bahkan semasa Ilyas Ibrahim hanya dirilah jadi tempat mengeluh atau mengadu, sebaliknya juga sama. “Setahu saya alat besi buatan Ilyas belum ada tandingnya dalam hal kualitas,” kata Dongkol.

Cara Ilyas menyepuh besi, kenangnya, berbeda dengan cara Pande Besi lainnya. Ilyas sudah ahli sejak masa lajangnya. Parang, cangkul dan buatan Ilyas lainnya tidak mudah patah dan dikenal kuat.

Ilmu supranatural sepertinya juga dimiliki ayah sembilan anak ini. Win Ruhdi Bathin Aman Shafa—warga Belangkolaq 1 mengatakan, saat anak laki-lakinya berusia 4 bulan pernah tersiram air mendidih, anak itu menangis tiada hentinya, karena tersiram dibagian kakinya. Lalu Rudi membawa anaknya kepada Ilyas untuk diobati. “Entah apa yang dibaca Pak Ilyas, anak saya berhenti menangis sehingga kami bisa tenang untuk memberikan obat selanjutnya,” kisah Win Ruhdi.

Pendiri Pande Besi B3

Menurut salah seorang anaknya, Faidaturrajni, ayahnya bernama lengkap H. Ilyas Ibrahim kelahiran Simpang Mamplam, Samalanga, Aceh Utara 25 September 1930 lalu. Ilyas Ibrahim terlahir dari keluarga sederhana, dan di asuh penuh oleh sang Ibu, Syarifah Umar.

Ayahnya, Ibrahim, tidak sepenuhnya bersama keluarga karena kondisi pada masa itu, lelaki dewasa ikut bergerilya melawan penjajahan Belanda, sehingga sangat dimaklumi apabila sang Ayah jauh darinya.

Pada tahun 1955 Ilyas Ibrahim berhasil menyelesaikan kelas 6 Sekolah Dasar (SD) Ferfolok School di Samalanga. Namun sebelum menyentuh sekolah, tahun 1945  Ilyas sempat mengikuti latihan tentara cadangan selama 6 bulan di Simpang Mamplam.

Tamat kelas 6, Ilyas pun mencari kerja. Di Simpang mamplam, pekerjaan yang tersedia hanya petani, bagi Ilyas bekerja sebagai petani hasilnya akan sama dengan yang lainnya, tanpa jaminan masa depan. Dalam dirinya timbul hasrat untuk meninggalkan kampung halaman mencari pekerjaan di tempat lain.

Dan pada tahun 1955 pula, Ilyas menemukan pekerjaan yang sesuai dengannya—Pandai Besi di Takengon, Aceh Tengah. Adalah Guru M. Ali Cut yang membimbingnya menjadi penempa pandai Besi selama lebih kurang satu setengah tahun lamanya.

Pada tahun 1957, atas restu sang guru, Ilyaspun mulai membuka usaha pande besi sendiri di Simpang Wariji, Belang Kolak I Takengon. Merek (cap) tempaannya B3, yaitu tiga buah huruf B yang membentuk Peace.

Setahun kemudian, lelaki desa inipun menikahi wanita asal Keude Aceh Samalanga, Aisyah Saidi.

Dari hasil perkawinannya, Ilyas di anugerahi 7 putra dan 2 putri. Pekerjaannya sebagai pande besi terus ditekuninya. Sampai akhirnya, banyak langganannya, terutama petani di Gayo, Aceh Pesisir, dan dari tempat lain yang percaya pada kualitas tempaannya.

Hasil Kerjanya berupa pisau, parang, garuk (alat membajak sawah) dan lain-lain, inipun akhirnya sampai ke Amerika dan Jerman, tetapi bukan lewat pasar di negara itu, melainkan pesanan dari petani bule yang pernah mampir ke pande Ilyas.

Bisa dimengerti mengapa tempaan Ilyas begitu digandrungi petani setempat, karena formula besi yang digunakannya memang terjamin kuat dan tajam. Dan Ilyas sendiri tidak pernah berhenti mencari bentuk tempaannya yang sesuai dengan petani, seperti halnya tatkala petani menanam Kopi Ateng, yaitu kopi yang tinggi batangnya cuma sekitar 1 meter, dalam hal ini diperlukan parang yang pas ukurannya. Seperti saat membersihkan batang kopi kita harus jongkok, tetapi dengan parang buatannya, bisa nyaman dan tidak membuat pinggang letih.

Ketekunannya itu juga dilatari prinsip ‘sabar, tekun, dan tawaqal’. Cap B3 yang dibubuhi pada setiap produknya juga bagian dari prinsip itu, Beramal Bahagia Bersama. Berangkat dengan prinsip itulah semangat kerjanya cukup tinggi.

Tidak heran, apabila  banyak anak buahnya mengikuti jejaknya, dan dii pinggiran Takengon, seperti Pondok Baru dan Simpang Balik sudah ada pande besi sendiri.

Bagaimana dengan kehidupan keluarga? Baginya itu prioritas utama. Dalam benaknya, seperti juga orang tua lainnya anak-anaknya harus lebih di banding ayahnya. Tentu sesuai kemampuan sang anak pula. Itu sebabnya Ilyas memberi prioritas pada 9 anaknya untuk terus melaju di pendidikan. Tekad itu rupanya cukup efektif, bak primbon masyarakat setempat, walau harus menjual sendal jepit, demi sekolah-anak-anaknya akan dilakukan, dan itu dikerjakan Ilyas.

Dan ke- 9 anaknya sekolah semua. Putra pertamanya Junawarman, (Insinyur Tehnik Mesin Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Azharsyah, Sarjana Muda Universitas Iskandar Muda Banda Aceh, Unnu Adnan (D3 Fakultas Informatika Komputer Budi Luhur Jakarta), Jauhari Samalanga (Alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, Faidaturrajni (Sarjana Hukum Universitas Islam akarta), Misbah (Arsitektur Universitas Islam Yogyakarta, Jasmi, Sarjana Tehnik Sipil Universtas Islam Yogyakarta), Dewi Juniati (sarjana  Ekonomi Unsyiah Banda Aceh) dan Subhan (18), (tamat SMU memilih tidak melanjutkan Studi ke Universitas, kendati pernah mengecap kuliah di Universitas Mercu Buana, Jakarta selama 4 semester).

Kebiasaan Ilyas sederhana saja, selepas bekerja seharian dia meneruskannya dengan mengajar mengaji kepada anak-anak yang ada di sekitar lingkungannya. “Untuk mengisi waktu luang.”

Dua hari lagi sisa puasa bulan Ramadhan, 31 Oktober 2005 pagi sekitar pukul 10.00 Wib, Ilyas meminta seorang anaknya, Misbah untuk memotong kuku-kukunya setelah sebelumnya bercukur di tukang pangkas di Simpang Wariji Takengen.

Tidak ada tanda-tanda Ilyas dalam keadaan sakit hingga saat berbuka puasa dan Shalat Maghrib selesai ditunaikannya. Saat menunggu masuknya waktu Isya, Ilyas mengisi waktu dengan bercanda bersama sang cucu dan tiba-tiba terjatuh dan menghadap sang Khalik dan dimakamkan keesokan harinya di komplek pemakaman Belang Kolak I. | www.lovegayo.com

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun