Dari Papan Tulis ke Gerobak Sampah: Kisah Pilu dan Paradoks Profesi
Ketika Ruang Kelas Tak Lagi Menjanjikan
Ada kisah yang mencabik hati: seorang sarjana pendidikan yang dulu berdiri gagah di depan papan tulis, kini justru memilih mendorong gerobak sampah keliling. Namanya Ahmad Sahroni, seorang guru dari Banyuwangi, yang memutuskan meninggalkan profesi mulianya demi pekerjaan yang dipandang remeh banyak orang... menjadi tukang sampah.
Mengapa Guru Bisa Tersisih?
Realitas ini muncul karena gaji yang ia terima sebagai guru honorer sangat minim, tak sebanding dengan kebutuhan hidup. Ironisnya, profesi yang katanya "pahlawan tanpa tanda jasa" justru membuatnya sulit bertahan. Sementara itu, dari sampah yang dianggap kotor, ia justru menemukan nilai ekonomis yang nyata.
Paradoks di Negeri Pendidikan
Sahroni mampu meraup sekitar Rp 5 juta per bulan dari pengelolaan sampah. Angka ini jauh lebih besar dari penghasilannya sebagai guru. Paradoks ini menunjukkan bahwa struktur gaji guru di Indonesia masih timpang. Padahal, di negara lain, guru adalah profesi bergengsi dengan gaji layak.
Kesalahan yang Berulang
Kesalahan umum yang terjadi adalah menganggap profesi guru cukup dihormati dengan ucapan manis tanpa kesejahteraan nyata. Masyarakat bertepuk tangan di Hari Guru, tetapi abai ketika mereka harus membayar layak. Pemerintah pun lebih sibuk dengan jargon peningkatan mutu, tanpa keberanian menata ulang kesejahteraan pengajar.
Dari Sampah, Lahir Harapan Baru
Dengan iuran warga, penjualan sampah anorganik, dan produksi pupuk cair, Sahroni mendirikan komunitas Fasco Recycle. Ia bahkan melibatkan mahasiswa untuk mengubah sampah jadi pot bunga, lilin aromaterapi, hingga maggot untuk pakan ternak. Dari sampah, ia membangun ekosistem ekonomi yang lebih sehat.
Fakta Ilmiah dan Sosial
Menurut data Bank Dunia, Indonesia masih tergolong rendah dalam anggaran pendidikan per kapita dibandingkan negara tetangga. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa rata-rata gaji guru honorer masih jauh di bawah UMR. Fakta ini memperkuat alasan mengapa banyak guru beralih profesi.
Pertolongan Pertama bagi Guru
Untuk saat ini, solusi praktis yang bisa dilakukan adalah memperkuat program kesejahteraan melalui dana BOS dan tunjangan profesi, serta membuka peluang pendapatan sampingan berbasis komunitas. Guru juga perlu diberikan pelatihan kewirausahaan sosial agar tak hanya bergantung pada gaji formal.
Agar Tak Ada Lagi Guru yang Menyerah
Pencegahan terbaik adalah memperjuangkan sistem penggajian yang transparan dan layak. Masyarakat juga bisa membantu dengan mendukung produk dan jasa dari komunitas guru, agar mereka tetap merasa dihargai secara ekonomi maupun sosial.
Renungan Personal
Membaca kisah ini, saya merasakan getirnya realita: pendidikan kita masih kalah oleh sampah. Jika seorang guru harus memilih jalan ini demi keluarga, maka bukan ia yang salah, tetapi kita semua yang gagal memberi penghargaan layak. Saya bersyukur masih bisa belajar dari kisah seperti ini... dan berdoa agar suatu saat profesi guru kembali bermartabat.
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad)
Kisah Sahroni adalah tamparan. Bahwa manfaat tidak selalu lahir di ruang kelas, kadang justru dari tumpukan sampah...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI