Mohon tunggu...
jody aryono
jody aryono Mohon Tunggu... Konsultan IT dan Developer Sistem Berbasis AI | Assesor LSP Informatika

Seorang Senior IT Konsultan Teknologi dan juga Edukator Koding dan Kecerdasan Artifisial, yang fokus pada pengembangan Sistem berbasis AI dan solusi digital untuk instansi pemerintah, masjid, dan komunitas. Aktif menulis seputar teknologi, produktivitas, serta pemanfaatan kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari. Topik favorit saya antara lain: AI, dakwah digital, coding, dan edukasi masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Papan Tulis ke Gerobak Sampah: Kisah Pilu dan Paradoks Profesi

10 September 2025   20:00 Diperbarui: 10 September 2025   04:14 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Guru Menjadi Tukang Sampah ,ChatGPT5 

Dari Papan Tulis ke Gerobak Sampah: Kisah Pilu dan Paradoks Profesi

Ketika Ruang Kelas Tak Lagi Menjanjikan

Ada kisah yang mencabik hati: seorang sarjana pendidikan yang dulu berdiri gagah di depan papan tulis, kini justru memilih mendorong gerobak sampah keliling. Namanya Ahmad Sahroni, seorang guru dari Banyuwangi, yang memutuskan meninggalkan profesi mulianya demi pekerjaan yang dipandang remeh banyak orang... menjadi tukang sampah.

Mengapa Guru Bisa Tersisih?

Realitas ini muncul karena gaji yang ia terima sebagai guru honorer sangat minim, tak sebanding dengan kebutuhan hidup. Ironisnya, profesi yang katanya "pahlawan tanpa tanda jasa" justru membuatnya sulit bertahan. Sementara itu, dari sampah yang dianggap kotor, ia justru menemukan nilai ekonomis yang nyata.

Paradoks di Negeri Pendidikan

Sahroni mampu meraup sekitar Rp 5 juta per bulan dari pengelolaan sampah. Angka ini jauh lebih besar dari penghasilannya sebagai guru. Paradoks ini menunjukkan bahwa struktur gaji guru di Indonesia masih timpang. Padahal, di negara lain, guru adalah profesi bergengsi dengan gaji layak.

Kesalahan yang Berulang

Kesalahan umum yang terjadi adalah menganggap profesi guru cukup dihormati dengan ucapan manis tanpa kesejahteraan nyata. Masyarakat bertepuk tangan di Hari Guru, tetapi abai ketika mereka harus membayar layak. Pemerintah pun lebih sibuk dengan jargon peningkatan mutu, tanpa keberanian menata ulang kesejahteraan pengajar.

Dari Sampah, Lahir Harapan Baru

Dengan iuran warga, penjualan sampah anorganik, dan produksi pupuk cair, Sahroni mendirikan komunitas Fasco Recycle. Ia bahkan melibatkan mahasiswa untuk mengubah sampah jadi pot bunga, lilin aromaterapi, hingga maggot untuk pakan ternak. Dari sampah, ia membangun ekosistem ekonomi yang lebih sehat.

Fakta Ilmiah dan Sosial

Menurut data Bank Dunia, Indonesia masih tergolong rendah dalam anggaran pendidikan per kapita dibandingkan negara tetangga. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa rata-rata gaji guru honorer masih jauh di bawah UMR. Fakta ini memperkuat alasan mengapa banyak guru beralih profesi.

Pertolongan Pertama bagi Guru

Untuk saat ini, solusi praktis yang bisa dilakukan adalah memperkuat program kesejahteraan melalui dana BOS dan tunjangan profesi, serta membuka peluang pendapatan sampingan berbasis komunitas. Guru juga perlu diberikan pelatihan kewirausahaan sosial agar tak hanya bergantung pada gaji formal.

Agar Tak Ada Lagi Guru yang Menyerah

Pencegahan terbaik adalah memperjuangkan sistem penggajian yang transparan dan layak. Masyarakat juga bisa membantu dengan mendukung produk dan jasa dari komunitas guru, agar mereka tetap merasa dihargai secara ekonomi maupun sosial.

Renungan Personal

Membaca kisah ini, saya merasakan getirnya realita: pendidikan kita masih kalah oleh sampah. Jika seorang guru harus memilih jalan ini demi keluarga, maka bukan ia yang salah, tetapi kita semua yang gagal memberi penghargaan layak. Saya bersyukur masih bisa belajar dari kisah seperti ini... dan berdoa agar suatu saat profesi guru kembali bermartabat.

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad)

Kisah Sahroni adalah tamparan. Bahwa manfaat tidak selalu lahir di ruang kelas, kadang justru dari tumpukan sampah...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun