Mohon tunggu...
jody aryono
jody aryono Mohon Tunggu... Konsultan IT dan Developer Sistem Berbasis AI | Assesor LSP Informatika

Seorang Senior IT Konsultan Teknologi dan juga Edukator Koding dan Kecerdasan Artifisial, yang fokus pada pengembangan Sistem berbasis AI dan solusi digital untuk instansi pemerintah, masjid, dan komunitas. Aktif menulis seputar teknologi, produktivitas, serta pemanfaatan kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari. Topik favorit saya antara lain: AI, dakwah digital, coding, dan edukasi masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Grafis PS1, Layar Lebar: Misteri Tembusnya "Marah Putih:One For All" ke Bioskop

13 Agustus 2025   08:18 Diperbarui: 13 Agustus 2025   08:18 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Poster Indonesi One For All ,Sumber malang.disway.id 

Kejutan yang Membuat Kening Berkerut

Ketika trailer Merah Putih: One For All muncul, banyak yang mengira itu proyek mahasiswa atau konten uji coba engine lama. Namun kenyataannya, ini adalah film layar lebar resmi yang siap tayang nasional. Bukan tepuk tangan yang menyambutnya, melainkan rasa heran bercampur malu... karena visualnya lebih mirip game PlayStation 1 daripada film animasi modern.

Ironi Slot Tayang

Sudah jadi rahasia umum bahwa animasi lokal berkualitas sering kesulitan masuk bioskop. Persaingan dengan film impor, keterbatasan slot, dan standar distribusi yang keras membuat banyak karya kandas di awal. Lalu mengapa film dengan kualitas grafis yang jauh di bawah standar internasional ini justru bisa tembus, bahkan menjelang momen besar kemerdekaan?

Jalur Cepat yang Misterius

Pintu bioskop di Indonesia tidak selalu terbuka karena kualitas teknis. Kadang, jalur cepat terbentuk lewat koneksi, momen nasionalisme, atau bahkan pertimbangan bisnis jangka pendek. “Merah Putih: One For All” punya semua itu  tema merah putih, rilis menjelang HUT RI ke-80, dan kehebohan publik yang sudah terbentuk sebelum tayang.

Momentum Nasionalisme Sebagai Tameng

Di momen seperti ini, menolak film bertema merah putih bisa dianggap tidak mendukung semangat kebangsaan. Sentimen ini bisa jadi alasan kenapa film tersebut lolos, meskipun kualitas visualnya mengundang gelak tawa dan kritik tajam. Isu nasionalisme kadang menjadi perisai yang membuat kritik teknis dikesampingkan.

Kualitas yang Mengundang Penasaran

Ironisnya, kelemahan visual justru membuat film ini viral. Trailer yang dikritik habis-habisan malah memicu rasa ingin tahu... dan bagi pihak bioskop, rasa penasaran berarti potensi tiket terjual. Ini adalah bentuk bad publicity is still publicity yang dimanfaatkan secara maksimal.

Luka di Wajah Industri Kreatif

Kasus ini menyisakan pertanyaan pahit: apakah kita rela wajah industri kreatif Indonesia diwakili oleh karya yang bahkan tidak bisa bersaing dengan standar teknis internasional dua dekade lalu? Jika iya, maka kita sedang menurunkan standar kita sendiri... dan dunia akan menilai sesuai tampilan yang kita kirimkan.

Harapan untuk Perubahan

Kita tidak kekurangan talenta animator berbakat. Yang kita butuhkan adalah sistem distribusi yang adil, standar mutu yang jelas, dan keberanian untuk menunda tayang jika hasil belum layak. Karena merah putih layak tampil megah, bukan lusuh di layar lebar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun