Perlukah Majelis Ulama Punya Lembaga Khusus AI & Crypto?
Ketika dunia berubah begitu cepat—dengan hadirnya kecerdasan buatan dan mata uang digital—umat Islam dihadapkan pada tantangan baru dalam bidang muamalah dan etika.
Kita tidak lagi bicara soal halal-haram dalam makanan saja, tapi kini menyentuh soal “apakah AI yang meniru suara ulama bisa menyesatkan?” atau “apakah transaksi crypto bisa masuk kategori gharar?”
Teknologi Berlari, Fatwa Tertinggal?
Hari ini, anak muda bisa membuat AI yang berbicara seperti ustaz. Seseorang bisa menyalin suara seorang kiai ternama, lalu memanipulasi konten dakwah. Di sisi lain, crypto kian populer di kalangan umat, padahal banyak belum paham mana koin yang syar’i dan mana yang spekulatif.
Sayangnya, fatwa-fatwa yang membahas hal ini masih terbatas. Padahal, tantangan digital terus berkembang setiap minggu, bukan tiap tahun.
Kenapa Harus Ada Lembaga Khusus?
MUI selama ini sudah punya Komisi Fatwa. Tapi urgensi zaman menuntut lebih: sebuah lembaga khusus yang fokus menangani AI, blockchain, crypto, dan teknologi masa depan dari sisi syariah dan etika Islam.
Lembaga ini bisa:
Melibatkan ulama, praktisi teknologi, dan ahli syariah.
Memberikan rekomendasi cepat untuk kebijakan dan edukasi.
Menjadi rujukan resmi umat Islam dalam dunia digital yang makin kompleks.
Menjawab Tantangan Zaman
Jika hari ini kita tidak memulai, kita akan selalu tertinggal dalam merespons. Umat Islam butuh pegangan, bukan hanya dari sisi teknis, tapi juga dari sisi nilai.
Membentuk lembaga ini bukan soal keren-kerenan mengikuti zaman, tapi bentuk tanggung jawab ulama dan cendekia terhadap realitas umat.
Karena AI dan crypto bukan soal masa depan. Ia adalah realita hari ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI