Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memitigasi Gempa Bumi dan Tsunami di Kawasan Bandara Internasional Yogyakarta

25 April 2019   20:08 Diperbarui: 25 April 2019   20:32 1533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak lama lagi, akhir bulan ini atau tepatnya tanggal 29 April 2019 akan diresmikan pengoperasian  bandara baru di  kawasan pesisir selatan Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo, DIY. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No.98 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Udara Baru di Kabupaten Kulonprogo.

Bandar udara baru yang akan dinamai Bandara Internasional Yogyakarta tersebut kini tinggal menunggu sisa waktu terakhir proyek setelah beberapa bulan yang lalu diseriusi pengerjaannya sehingga target dan tanggal resmi pengoperasian  bisa berlangsung sesuai rencana.

Persiapan di sana-sini juga sudah dilakukan secara bertahap. Dimulai dari beberapa tahun sebelumnya yaitu pembebasan tanah, penataan permukiman/relokasi sekitar bandara, pelebaran beberapa ruas jalan serta pengaturan arus lalu-lintas kendaraan menuju bandara, dan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya sudah ditata sedemikian rupa.

Di samping kesiapan prasarana fisik, berbagai wacana juga terus berkembang yang tertuju pada pembangunan bandara, ikutserta memberikan masukan seiring dengan segera diresmikannya operasional bandara baru bertaraf internasional di akhir bulan nanti.

Salah satu hal penting yang perlu dicatat atau mendapat perhatian bersama yaitu menyangkut kenyamanan/keamanan lingkungan sekitar serta keselamatan atas risiko bandara demi keberlangsungnnya kelak di kemudian hari. 

Dalam diskusi bertema "Membumikan Informasi Potensi Bencana di Seputar Infrastruktur Kita"  bertempat di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yogyakarta (6/4), ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko mengingatkan bahwa rencana pengoperasian bandara baru di Kulonprogo harus memperhatikan mitigasi bencana. Penyebabnya, bandara yang berada di pesisir selatan itu rawan gempa dan tsunami (Kompas, Minggu 7/4/2019, halaman 8).

Ditambahkan, kajian sejumlah ilmuwan menunjukkan lokasi bandara baru itu rawan gempa-tsunami dengan kekuatan hingga magnitudo (M) 8.8 yang bisa diikuti tsunami. Apabila itu terjadi, landas pacu bandara yang berjarak 400 meter dari bibir pantai bisa terkena tsunami setinggi 4 hingga 5 meter dan menerjang gedung terminal bandara.

Dalam pemberitaan yang sama, Juru Bicara Proyek Pembangunan Bandara PT Angkasa Pura I Agus Pandu Purnama menyatakan, upaya mitigasi bencana dilakukan beriringan dengan proses pembangunan bandara.

Dikatakan pula, konstruksi bangunan bandara telah memperhitungkan kemungkinan gempa bumi berkekuatan M 8.8. Upaya mitigasi juga dilakukan dengan membangun kolom atau tiang untuk mengurangi terjangan tsunami. PT Angkasa Pura I menyiapkan tempat evakuasi bisa menampung ribuan orang jika terjadi bencana, baik penumpang, pekerja bandara dan masyarakat di sekitar bandara.

Nampaknya, sepintas telah terjawab apa yang diingatkan oleh ahli tsunami seperti  dalam paparan ringkas berita di atas.  Namun masih menyisakan pertanyaan yang tentunya memfokus pada upaya mitigasi itu sendiri.

Ini bisa dianggap penting, karena mitigasi bencana (gempa dan tsunami) bukan hanya semata  memikirkan perangkat keras seperti peralatan dan bangunan fisik. Lebih dari itu, mitigasi dalam konteks ini sebagai proses melibatkan berbagai unsur dalam mekanisme kerja, terkoordinir dalam upaya kesiapan menghadapi bencana sehingga dapat meminimalir jumlah korban.

Kita harus jujur bahwa mitigasi (pelunakan atau peredaman dampak bencana) ataupun kesiapan menghadapi bencana alam sampai sekarang pada umumnya masih lemah dan belum terintegrasi. Manakala bencana datang, jumlah korban dan kondisinya selalu memrihatinkan.  Lebih parah lagi bilamana  manusia yang menjadi  korban  dikarenakan ketidaktahuannya tentang apa dan bagaimana  yang mendesak dilakukan bila terjadi gempa disusul tsunami.

Peristiwa gempa-tsunami di Aceh (2004) dan Palu (2018), disusul Banten, Lampung yang tidak sedikit menelan korban serta kerugian/kerusakan besar pastinya menggugah kita untuk terus berbenah dalam memitigasi bencana alam khususnya gempa yang disusul tsunami tersebut.

Di tengah maraknya pembangunan infrastruktur di Indonesia termasuk megaproyek bandara baru di Yogyakarta yang letaknya berada di pesisir/kawasan rawan gempa bumi-tsunami, maka tak ada salahnya upaya antisipatif  dengan  tujuan meminimalisir jumlah korban  apabila kemungkinan terjadi bencana yang bisa merusak alam dan kehidupan manusia.

Sekali lagi perlu dipahami bahwa mitigasi bencana gempa dan tsunami bukan hanya memikirkan tersedianya perangkat keras seperti peralatan berteknologi tinggi dan bangunan fisik. Walaupun itu semua diperlukan sebagai fasilitasi sekaligus upaya pencegah meluasnya korban dan menjadi tanggungjawab pemerintah  untuk melindungi keselamatan warganya  - namun aspek lain seperti  aliran kerja  dari lokasi bencana, jalur evakuasi,  bantuan komunikasi hingga titik kumpul,  pertolongan para korban dan pengamanan tentu menjadikan bagian tak terpisahkan dalam penanganan bencana.

Wacana mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami yang muncul terkait segera diresmikannya bandara baru di Yogyakarta ini bukan berarti hanya untuk mengantisipasi atau melindungi kompleks bandara (penumpang, pekerja bandara, atau hanya untuk kepentingan internal bandara).  Jumlah warga/penduduk yang bertempat tinggal di seputaran bandara juga cukup padat, ditambah para pendatang/pengusaha yang bermigrasi ke lokasi ini.

Itu sebabnya, mengingat bencana gempa dan tsunami tidak pandang bulu akan menerjang siapa saja yang berada di tepian pantai -- maka mitigasi bencana menjadikan suatu keniscayaan bagi seluruh termasuk warga di luar kompleks bandara.

Membekali pengetahuan kepada semuanya tentang apa yang perlu dilakukan bilamana gempa bumi terjadi disusul tsunami melanda mereka. Pembekalan pengetahuan tentang bagaimana menghadapi gempa-tsunami, mulai dari early warning system,  diiringi tanda-tanda bunyi sirine, dalam artian  apa yang mendesak harus dilakukan, di mana tempat aman berlindung,  sehingga secara sigap mereka bertindak dan tidak perlu diliputi panik.  Baik pada waktu sebelum, pada saat terjadi, dan sesudah bencana berlangsung.

Memitigasi bencana gempa-tsunami di kawasan Bandara Internasional Yogyakarta dan tempat-tempat lain di negeri ini yang tergolong rentan terjadi gempa bumi-tsunami sebagai langkah pengurangan risiko  sudah saatnya diintensifkan dan dimenejemeni secara sungguh-sungguh.

Dari sisi kelembagaan di tingkat regional ada yang namanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi dan tingkat lokal BPBD Kabupaten/Kota yang siap bekerja 24 jam. Mengoptimalkan fungsi dan peran lembaga tersebut sebagai koordinator bekerjasama dengan institusi terkait unsur kebencanaan (BMKG, Perguruan Tinggi/Pusat Kajian Bencana Alam,  tokoh masyarakat/kearifan lokal, para pemangku kepentingan, dan sejenis) -- diharapkan dapat menyusun strategi/sistem penanggulangan bencana sesuai kondisi dan kemampuan otonomnya.

Tentu saja penanggulangan bencana alam bukan hanya urusan pemerintah belaka, partisipasi semua pihak terutama para warga/masyarakat setempat layak terlibat karena ini menyangkut kepentingan dan keselamatan manusia serta lingkungan sekitar. Di sinilah mitigasi bencana yang muaranya menyadarkan para warga/masyarakat tentang bagaimana mereka bersiap dan bersikap menghadapi ancaman marabahaya. 

Dalam perspektif psikologi komunikasi,  persepsi awam terhadap mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami (atau bencana lain seperti: letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kebakaran, yang banyak membawa korban)  sangatlah bervariasi alias tidak sama , semuanya sangatlah personal dan situasional.

Karenanya pula, untuk mencapai tingkat kesadaran atau persepsi yang sama memerlukan proses yang relatif panjang sehingga mitigasi bencana alam yang dikemas dalam forum sosialisasi dan simulasi selayaknya dilakukan tidak hanya satu atau dua kali, tetapi dilakukan bertahap/berkala dan berkelanjutan.

Tahap pertama biasanya sebagai pengayaan wawasan/pengetahuan dasar tentang bencana, meningkat tahap berikutnya menjadikan warga/masyarakat semakin mengerti tentang bencana yang dihadapi serta dampak-dampak yang akan terjadi, menyusul tahapan lanjut yaitu memahami apa yang harus diperbuat atau bagaimana cara yang harus ditempuh manakala mengahapi ancaman bencana, tahap terakhir  membangkitkan kesadaran atau bersiap diri untuk action dari hasil pembekalan, bimbingan dan pelatihan yang telah  diperoleh. 

Kini sudah saatnya mitigasi bencana alam  menjadikan pilihan paradigma dalam kebijakan berkait kebencanaan. Di samping  sifatnya yang partisipatori/melibatkan semua pihak bertanggungjawab secara bersama, juga secara langsung berkontribusi terhadap pemberdayaan warga/masyarakat setempat.

(JM, 25-4-2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun