Soe Hok Gie
Selain Bung Karno, sosok Soe Hok Gie adalah yang paling kukagumi. Selain dirinya dikenal sebagai "kakek buyut" Mahasiswa Pecinta Alam, Gie juga adalah potret pemuda yang resah memikirkan nasib bangsanya.
Sikap seorang Soe Hok Gie lurus dan cenderung menentang arus. Tidak hanya berani, Gie bahkan terkesan nekat. Meskipun ia menjadi orang yg kesepian karena sikap lurusnya itu. Dalam catatan hariannya Gie menulis "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang. Makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan. Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian."
Namun dalam kesepiannya itu, ia tetap kokoh dengan pendirian & perlawanannya, Gie mencatat dengan tegas dalam buku hariannya "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan".
Gie adalah gambaran sosok pemuda idealis yang tetap kokoh memegang prinsip hidupnya. Saat pemerintahan Sukarno berhasil ditumbangkan, banyak aktivis mahasiswa yang memilih bergabung duduk di kursi pemerintahan menjadi anggota DPR-GR dan bisa hidup enak. Tapi Gie bersikap lain, masih dalam catatannya Gie menulis "Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor". Gie memilih menyepi ke puncak–puncak gunung ketimbang ikut menjadi anggota DPR-GR.
Soe Hok Gie wafat pada 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27. Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak gunung Semeru karena menghirup uap beracun.
Karena kuburan Gie terkena gusur oleh proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman – temannya, memutuskan menumbuk sisa – sisa tulang belulang Gie. Serbuknya lalu ditebar di antara bunga – bunga Edelweiss di Lembah Mandalawangi di Puncak gunung Pangrango. Di tempat itulah Gie biasa merenung seperti patung.