Yang berikutnya soal Daerah Istimewa Surakarta. Gusti Moeng menuturkan kembali peristiwa di tahun 1946, terjadi 'gegeran' (perselisihan keras). Republik Indonesia baru sembilan bulan berdiri, di Surakarta terjadi gerakan Anti-Swapraja oleh golongan kiri.
Gerakan anti-swapraja di Solo pada tahun 1946 ini adalah gerakan yang menentang keberadaan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dan kekuasaan monarki Kasunanan Surakarta, yang bertujuan untuk menggabungkan Surakarta ke dalam wilayah Jawa Tengah.
"Gerakan anti Swapraja mengakibatkan dua Daerah Istimewa (Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Surakarta) diambil alih ke pusat. Keluarlah Peraturan Pemerintah PP 16/SD (Sangat Darurat) 1946. Trus ada dictum: kalau keadaan pulih kembali akan dikembalikan dengan UU," kata Gusti Moeng.
Surakarta tidak pernah dikembalikan dengan Undang-undang keistimewaan. Sedangkan Yogyakarta dibentuk sendiri dengan UU No 5 tahun 1974 sebagai Daerah Istimewa Yogya (DIY) sebagai Propinsi Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwana IX ditetapkan sebagai Gubernur baru DIY waktu itu dan pemimpin Kadipaten Pakualaman sebagai Wakil Gubernur. Kemudian, keistimewaan DIY diatur dalam Undang-undang No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Surakarta malah dimasukkan dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah," kata Gusti Moeng pula, mengingatkan fakta sejarah, karaton Surakarta dijadikan bagian dari wilayah Jawa Tengah melalui UU No 10 tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah.
Tentang dimasukkannya Karaton Surakarta ke dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah ini, menurut seorang dosen Sejarah Universitas Airlangga, Purnawan Basundoro, di depan Sidang Pleno pengujian UU No 10 tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Tengah di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Agustus 2013, sebagai sebuah "Kecelakaan Sejarah".
"Kecelakaan sejarah, karena (Republik Indonesia) melanggar janji yang tertuang dalam Maklumat Presiden No 1 Tahun 1946 dan Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946, yang menyatakan Surakarta akan menjadi daerah istimewa dengan pemerintahan sendiri," kata Purnawan Basundoro di sidang MK pada Agustus 2013 itu.
Sidang di Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2013 itu sendiri, adalah dalam rangka uji materi UU tentang Pembentukan Propinsi Jawa Tengah yang diajukan oleh pihak Karaton Surakarta, yang diajukan oleh Gusti Raden Ayu Koes Isbandiyah (putri Susuhunan Paku Buwono XII) dan Kanjeng Pangeran Eddy S Wirabhumi (ahli waris dinasti Keraton Surakarta) serta Lembaga Hukum Keraton Surakarta dan Abdi Dalem Keraton Surakarta.
Uji materi dilakukan atas Pasal 1 ayat (1) UU No 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah yang memasukkan (karaton) Surakarta ke dalam wilayah Jawa Tengah. Namun gugatan ini oleh Mahkamah Konstitusi yang putusannya dibacakan oleh  Hakim Ketua Arief Hidayat dengan Hakim Ketua Majelis MK Hamdan Zoelva, menyatakan "permohonan tidak diterima,"
MK menyatakan meskipun pengajuan ini diajukan oleh putri kandung Susuhunan Paku Buwono XII, akan tetapi Gusti Raden Ayu Koes Isbandiyah bukanlah anak satu-satunya. Sementara masih banyak anak kandung Susuhunan Paku Buwono XII yang memiliki hak yang sama. Sehingga, Gusti Raden Ayu tidak bisa bertindak sendiri dengan menyatakan mewakili seluruh ahli waris.
"Seharusnya dijelaskan pemohon, apakah ahli waris yang lainnya juga ingin ajukan pengujian UU ini atau tidak. Ternyata Gusti Raden Ayu tidak memperoleh kuasa dari ahli waris lainnya," ujar Hakim Konsitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan.