Coba lihat kapten tim dan bintang Piala Dunia 1998, Zinedine Zidane yang berdarah Aljazair itu. Atau Lilian Thuram, pilihan utama bek kanan Les Bleus. Si hitam Thuram kelahiran Guadeloupe di wilayah jajahan Prancis di India Barat. Juga pemain bek tengah, Marcel Desailly, kelahiran Odenke Abbey, Ghana dari orang tua Ghana. Tetapi kemudian diboyong ke Prancis ketika ibunya menikah dengan Kepala Konsulat Prancis di Accra.
Gelandang Les Bleus, Christian Karembeu pun berkulit hitam. Dia kelahiran Kaledonia Baru wilayah jajahan Prancis di Pasifik. Youri Djorkaeff, salah satu top scorer Les Bleus, juga bukan asli Prancis. Djorkaeff kelahiran Lyon Prancis, akan tetapi ayah Polandia, ibunya Armenia. Patrick Vieira gelandang penyerang pasukan biru ini adalah juga orang kulit hitam, ia orang Senegal. Vieira jadi warga Prancis karena kakeknya pernah mengabdi sebagai tentara Prancis.
Bixente Lizarazu memang berkulit putih. Meski demikian, bek kiri Les Bleus ini bukan asli Prancis. Ia berdarah Spanyol Basque,. Tetapi kelahiran Saint-Jean de Luz, Prancis.
Yang putih asli Prancis (1998) itu hanya Laurent Blanc, Emmanuel Petit, Christophe Dugarry, Stephane Guyvarc'h, Didier Deschamps dan kiper Fabien Barthez...
Suasana "Eropa Hitam dan Putih" juga terjadi ketika Prancis menjuarai Kejuaraan Eropa 2000. Sukses Prancis menyandingkan juara Piala Dunia (1998) dan Juara Eropa (2000) ini disambut di seluruh Prancis sebagai euforia. Ribuan orang menyambut kemenangan ini di jalanan Prancis. Dan Prancis, yang bertahun-tahun selalu diwarnai pertentangan politik antara kanan (anti imigran) vs kiri (pro imigran) di pemerintahannya, nampak bersatu hanya karena kemenangan sepak bola.
"On Est Champions...," pekik mereka dalam lagu, "Kita Juara". Menyalakan kembang api, membunyikan terompet, klakson mobil, mengibarkan bendera Prancis dengan bangga seolah menang perang, ribuan orang membuka sampanye. Atau bernyanyi-nyanyi di tempat-tempat keramaian di jantung kota Paris seperti Place de la Concorde, serta Champs Elysees.
Prancis yang memang penduduknya multi-etnis, multi-kultural, multi ras, tiba-tiba bersatu melupakan pertentangan mereka. Hanya karena kemenangan sepak bola...
Tanpa Naturalisasi
Prancis di Eropa disebut-sebut sebagai "Firdausnya Para Imigran".  Apalagi, sampai tahun 1993, Prancis menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan asas ius soli berdasarkan tanah kelahiran. Bukan ius sanguinis seperti misalnya di Indonesia, juga Belanda, Jepang.
Maka, meski kaum imigran sekalipun, jika ia lahir di Prancis mereka adalah warga negara Prancis. Tetapi mengalirnya deras kaum imigran, terutama dari Afrika, Aljazair, Arab dan bangsa-bangsa lain ke Prancis agar anak-anak mereka bisa menjadi warga Prancis, mencuatkan berbagai problem sosial seperti pengangguran, pun melonjak. Tahun 1993, tidak lagi ius soli tanpa syarat, seperti masa pemerintahan sosialis, akan tetapi ius soli pakai syarat. Aturan lebih diperketat.
Dalam peraturan ius soli pakai syarat itu, mereka para imigran yang anaknya lahir di Prancis, ketika sudah berusia 18 tahun, diharuskan memilih kewarganegaraan. Pilih warga Prancis, atau pilih warga negeri asalnya. Diberi waktu, paling lambat 3 tahun setelah si anak berusia 18 tahun.