Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Ganjar Pranowo: Setelah LaporGub, Perlu LaporPres

1 Desember 2023   13:00 Diperbarui: 4 Desember 2023   05:23 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganjar Pranowo saat door step interview di kantor PWI Pusat Jakarta (Foto: Jimmy S Harianto) 

Jika dibandingkan dengan media mainstream, media sosial itu lebih menarik. Karena tidak ada aturannya. Medsos syaratnya cuma akun. Maka media sosial itu bebas sebebas-bebasnya. Meski demikian, menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengedukasi publik agar kebebasan berekspresi ini tidak melanggar hak asasi manusia.

"Demi kebebasan pendapat, saya kan tidak bisa memaki orang begitu saja karena tidak suka di media sosial. Meskipun berekspresi itu adalah hak asasi, tetapi memaki orang, juga bisa menerjang hak asasi, karena ada kewajiban asasi di situ," kata Ganjar Pranowo, Capres nomor urut 3 dalam Dialog dengan Kalangan Pers di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat di Jalan Kebon Sirih Jakarta, Kamis (30/November/2023).

Sementara media mainstream, media terverifikasi oleh Dewan Pers, itu ada aturannya. Dan untuk bisa duduk sebagai awak media mainstream itu ada syarat dan aturannya. Berbeda dengan media sosial yang syaratnya cuma akun.

Meski demikian, Ganjar Pranowo mengaku memakai media sosial dalam upaya menekan ASN-nya untuk melakukan tugas melayani rakyat serta demi melaksanakan 'good governance' selama sepuluh tahun ia menjabat Gubernur Jawa Tengah, melalui platform aplikasi yang ia sebut "LaporGub".

"Kalau nanti saya terpilih, jadi LaporPres... ,"kata Ganjar dengan senyum lebar, "Dan tugas saya semua dikontrol. Masyarakat menjadi cctv sosial, nggak bisa lagi macem-macem," kata Capres yang diusung PDIP ini pula. Government super apps (seperti LaporGub, LaporPres) itu perlu dipakai untuk menjadi presiden sekalipun. 

"Tetap kontrol terakhirnya media," kata Ganjar di depan segenap pengurus PWI Pusat dari Sabang sampai Merauke, karena disiarkan melalui fasilitas zoom meeting. Ganjar mengaku sangat sering dihajar, meski sering pula dipuji.


"Yang perlu disikapi adalah kita jangan 'baperan' (terbawa perasaan). Karena pada posisi itu, Anda pada posisi wajib, wajib dikritik, wajib diejek, jangan baperan...," katanya. Dialog Para Capres dengan Masyarakat Pers, yang menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh pada 9 Februari 2024 nanti.

Selain berdialog dengan tiga Capres untuk Pilpres 2024, Ganjar Pranowo, PWI juga melakukan dialog dengan Capres nomor urut 1 Anies Baswedan pada Jumat (1/12/2023) siang setelah sholat Jumat. Juga dengan Capres Prabowo Subianto, untuk waktu yang belum ditentukan dalam waktu dekat.

Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun mendampingi Capres Ganjar Pranowo saat Dialog di PWI Pusat. (Foto Jimmy S Harianto) 
Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun mendampingi Capres Ganjar Pranowo saat Dialog di PWI Pusat. (Foto Jimmy S Harianto) 

Hemat Anggaran Triliunan

Dengan mengusung slogan "Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi..," (Tidak korupsi, tidak menipu), Ganjar selama menjabat Gubernur Jateng mengaku 'menghajar' para ASN di Gubernuran agar mempelajari media sosial. Melakukan pelayanan online, dan juga membuka layanan pengaduan melalui platform LaporGub.

"Saya dorong para ASN saya untuk mempelajari medsos. Maka mereka pun dihajar setiap hari sampai stress. Stress pertama cara menggunakannya belum bisa. Stress kedua tekanan publik. Dan ternyata tekanan publik itu tanpa  dirasa, telah mereformasi dirinya," kata Ganjar Pranowo pula.

Maka, layanan pada masyarakat yang biasa diselesaikan sebulan, kini bisa paling cepat seminggu, "Saya kasih latihan agar diselesaikan 2x24 jam, lalu 1x24 jam. Setelah itu bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dan bahkan menit...," tuturnya pula.

Gara-gara 'Governance Super Aps' ini, Ganjar bisa menghapus 2.500 nomenklatur yang tumpang tindih dalam pelayanan masyarakat Jawa Tengah. Dan itu kata Ganjar, ternyata bisa menghemat anggaran daerag Rp 3,4 triliun.

"Kemudian anggaran itu kita berikan pada mereka, ASN kami, biar tambah penghasilan. Kira-kira kami tambah 500 persen. Maka masyarakat  tidak usah setor saat mengurus layanan. Saya katakan pada para ASN, tugas mu hanya melayani masyarakat dengan mudah, murah, cepat, menggunakan teknologi digital agar lebih gampang," kata Ganjar.

Disrupsi Media

Ketika ditanya, apakah Ganjar Pranowo sependapat dengan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Hari Pers Nasional (HPN) tahun lalu bahwa "Pers kita sedang tidak baik-baik saja..," Ganjar mengatakan, memang pers kita sedang tidak baik-baik saja.

"Ada dua hal dari pers kita yang tidak baik-baik saja pada hari ini. Salah satu adalah bisnisnya. Bisnis media sedang mengalami perubahan. Disrupsi di pers sekarang terjadi dari yang konvensional menjadi digital. Konvensionalnya mulai ditinggalkan. Tetapi digitalnya belum 100 persen dijalankan. Secara bisnis tidak bagus. Banyak perusahaan yang bangkrut, lalu bermunculan yang baru. Nah, PWI kini punya pekerjaan rumah...," kata Ganjar.

Yang muncul yang baru, online, ada yang bagus ada yang tidak. Yang bagus, setelah dicek, ternyata di belakangnya wartawan-wartawannya kredibel. Yang tidak bagus, salah satu di antaranya, Ganjar mengaku pernah menemukan wartawannya adalah perangkat desa. Kerja di satu ormas. Motif menulis pun macem-macem kepentingannya.

Media yang mainstream pun tidak semua baik-baik saja. "Ketika saya jadi gubernur, saya lihat mereka (para wartawan) keluar masuk Humas (Hubungan Masyarakat di Gubernuran) mereka 'ngambilin' amplop. Wah, ini tidak sehat, lalu saya hentikan. Saya dihajar selama satu setengah tahun..," tutur Ganjar pula. Yang pahit soal pers pun perlu ia ungkapkan.

Menurutnya, sebenarnya ada cara yang lebih baik ketimbang budaya 'amplop' ini. Maka, Ganjar pun mencari cara agar hal ini menjadi legal, dan tidak ada lagi gaya yang seolah-olah saling peras atau saling hindar.

"Apa yang bisa dilakukan? Ya adalah. Kerjasama. Kalau kata saya, kita sama-sama punya perasaan...," ungkap Ganjar.

Maka selama situasi transisi di media yang belum baik-baik saja inilah, terkadang perlu dialog bagaimana membikin media menjadi  jauh lebih mapan. Interchangeable. Pemerintah memakai tools apa... social tools supaya bisa dilakukan social engineering. Agar situasi media yang tidak baik-baik saja ini menjadi membaik.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun