Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Keris Jenderal Sudirman

20 September 2020   05:10 Diperbarui: 22 September 2020   21:05 6590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Arsip Nasional RI via KOMPAS.com

Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita, bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan Belanda.

Dari curi-curi obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, pendiam dan dengan nafas tercekat yang dipanggil Kiaine itu adalah Jenderal Sudirman.

"Saya mendapat kepastian bahwa itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa kami," tutur Jirah.

Buronan Kelas Wahid

Dok. Arsip Nasional RI via KOMPAS.com
Dok. Arsip Nasional RI via KOMPAS.com
Waktu Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/ Angkatan Perang Republik Indonesia (yang dipilih melalui pemungutan suara pada 12 November 1945 di antaranya mengalahkan Oerip Soemohardjo) sedang bergerilya melawan Belanda, rombongan yang menyertainya berjumlah 77 orang. Mereka datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon pada Januari 1949.

Di rumah warga Nganjuk yang bernama Pak Kedah itu, Sudirman ditemani delapan orang di antaranya Dr Moestopo, Tjokropranolo dan Soepardjo Roestam. Sebanyak 68 orang gerilyawan lainnya, menginap di rumah tetangga-tetangga Pak Kedah.

Selama lima hari berada di desa Bajulan, tutur Jirah, tidak sekalipun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki penduduk dengan mortir.

"Itu berkat keris dan doa-doa Kiaine...," tutur Jirah. Sudirman seolah-olah tahu, tiap kali Belanda akan datang mencarinya.

Belanda, yang menginvasi Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Indonesia menyatakan merdeka (17 Agustus 1945), selalu gagal mencari buron nomor Wahid Kiaine Sudirman itu.

Sudirman, yang lahir pada Senin Pon 18 Maulud 1846 Jawa atau 24 Januari 1916 di dukuh Rembang, desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga Banyumas Jawa Tengah itu, dibesarkan di Cilacap oleh ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo asisten Wedana di Rembang, Purbalingga.

Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo danj Toeridowati di Cilacap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun