Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompas, Antara "Scyla dan Caribdis"

30 Juni 2020   10:52 Diperbarui: 7 Juli 2020   02:38 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Lukisan “Scylla dan Carybdis” karya Henry Fuseli

Jakob Oetama membaca kitab Homerus sebagai bacaan wajib siswa Seminari (1950-an), semacam kolese atau asrama untuk para calon pastor Katolik tempat yang dulu pernah dilalui oleh pemimpin media asal Sleman Yogyakarta ini.

Scylla digambarkan oleh Homerus sebagai makhluk monster berkepala enam di sisi Selat Calabria. Sedangkan Carybdis adalah pusaran air di lepas Pantai Sicilia. 

Digambarkan dalam sebuah lukisan (lihat ilustrasi), kepala Scyla mencomot tubuh-tubuh pelaut dari geladak kapal di wilayah si monster di selat Calabria, sementara Carybdis si monster pusaran air laut berusaha menelan utuh-utuh kapal yang melalui wilayah itu.

Esensi dari kiasan Yunani itu sebenarnya adalah penggambaran kesulitan pers Indonesia pada era puncak Orde Baru itu. Berbagai pembatasan pemberitaan oleh penguasa Orba, membuat pers seolah harus "memilih yang lebih rendah dari dua kejahatan". 

Menjalankan jurnalisme "minus malum", masih lebih bagus menulis sentilan kecil mengritik penguasa, ketimbang tidak menuliskan sama sekali. 

Situasi sulit, dimana pers pada waktu itu harus setiap kali dihadapkan pada pilihan untuk menulis jalan tengah, di antara hal ekstrem yang sama-sama berbahaya agar bisa terhindar dari bencana, koran dibreidel penguasa.

Tulisan Tajuk Rencana di Kompas itu diterbitkan, tiga tahun sebelum Kompas benar-bener dibreidel, sempat dicabut izin cetaknya oleh penguasa Orde Baru pada Januari 1978 selama kurang lebih dua minggu.

Dok. KOMPAS
Dok. KOMPAS

Diplonco

Situasi politik Indonesia pada 1975 ketika itu aman-aman saja, meskipun di bawah penguasa otoriter. Sang penguasa Orde Baru, Soeharto, ketika Jakob Oetama menurunkan tajuknya yang bersayap itu, presiden berada di Iran. 

Berita tentang kunjungan Soeharto ke istana pemimpin Iran waktu itu, Syah Iran di Istana Shahadabad, Teheran, menjadi berita headlines di Kompas 28 Juni 1975.

Di halaman depan Kompas hari itu, ada juga ucapan Selamat Ulang Tahun Kompas dari Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, Ali Sadikin (Letnan Jendral TNI/KKO AL). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun