Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

DPR, Tinjaulah Pemberian Jabatan Komisaris Perusahaan kepada Pejabat Publik

20 Juli 2018   08:47 Diperbarui: 20 Juli 2018   10:21 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengangkatan Ngabalin, Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sejak 23 Mei 2018, sebagai komisaris di Angkasa Pura I, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan momentum bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperjelas pengangkatan komisaris bagi pejabat publik.

Mungkin keberadaan pejabat sebagai komisaris perusahaan saat ini sudah lebih baik. Namun masih ada peluang untuk memperbaikinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penghasilan para komisaris itu jauh lebih tinggi dari pada gaji resminya sebagai pejabat. Fasilitas yang diterimanya sebagai komisarispun jauh lebih baik. Bahkan menjadi asisten komisarispun mendapat penghasilan dan fasilitas yang sudah lumayan.

Apa yang perlu diperbaiki DPR dari pemberian jabatan komisaris itu? Di masa lalu hanya pejabat di kementerian tertentu saja yang mendapatkan fasilitas sebagai komisaris di perusahaan. Pada umumnya para pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan, Sekretariat Negara, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koordinasi Perekonomian saja. Pejabat di Kementerian lain jangan harap pernah mendapat kesempatan menjadi komisaris. Tentu alasan klasiknya karena tidak ada kaitannya dengan bidang pekerjaannya.

Salah satu masukan kepada DPR yakni membuat aturan terbuka siapa yang boleh menjadi komisaris perusahaan. Sebaiknya pejabat aktif tidak boleh menjadi komisaris, atau setidaknya tidak boleh melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat dan komisaris harus memilih salah satunya. Di zaman Orde Baru Menteri Keuangan menjadi komisaris di mana-mana. Tapi sekarang Menteri tidak boleh menjadi komisaris dan ternyata tidak menjadi masalah.

Yang kedua tentang jumlah penghasilan dan fasilitas komisaris. Tidak adil memberikan penghasilan yang melebihi penghasilan dan fasilitas kepada komisaris lebih besar dari pada gaji dan fasilitasnya sebagai pejabat. Pada umumnya para perusahaan milik negara itu dapat memberikan penghasilan dan fasilitas besar kepada para komisaris dengan menggunakan dana corporate social responsibility (CSR) untuk membayar para komisaris itu. Atau bahkan perusahaan itu tidak mengenal dana CSR sama sekali. Padahal itu sebenarnya hak masyarakat.

Sekadar perbandingan, gaji seorang komisaris di Angkasa Pura I sekitar Rp 50 juta/bulan sebagaimana disampaikan mantan Direktur Utama (Dirut) Angkasa Pura I, Tommy Soetomo, yang mengungkapkan kepada Liputan6.com tanggal 1 November 2015, "gaji atau pendapatan seorang Komut di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut mencapai lebih dari Rp 50 juta setiap bulan."  

Masyarakat juga harus cerdas. Para Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga harus ikut mempertanyakan keberadaan para pejabat publik sebagai komisaris di berbagai BUMN dan perusahaan. Bahkan konon ada pejabat yang menjadi komisaris bukan hanya di satu perusahaan saja tapi di beberapa perusahaan. Tentu tidak perlulah dia menerima suap karena penghasilan dan fasilitasnya sebagai komisaris itu sudah lebih dari cukup.

Namun itu tidak adil, terutama dengan pejabat lain yang punya dedikasi yang tinggi namun tidak berkesempatan menjadi komisaris.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun