Pengantar
Pagi tadi, saya ke airport Pondok Cabe. Bermaksud ikut melepas jenazah salah satu sanak famili yang meninggal dini hari tadi dan akan diterbangkan ke Medan dari sana. Kami terlambat.
Pertama, karena jalan raya menuju bandara itu macet. Kedua, karena saya salah mengambil pintu masuk. Semula mengira dari gerbang selatan. Ternyata dari sisi utara bandara sehingga perlu berputar lagi di tengah kemacetan yang luar biasa tadi.
Sambil merayap, dari arah berlawanan kendaraan yang kami tumpangi, sekonyong-konyong muncul konvoi sepeda motor. Mereka umumnya mengenakan seragam ormas kepemudaan maupun kelompok agama tertentu. Mengusung bendera merah-putih, berbagai atribut kelompoknya, dan poster yang berbunyi soal penolakan UU HIP.
Di dalam kendaraan, saya dan istri menjalankan protokol covid-19. Kami masing-masing mengenakan masker dan juga sarung tangan. Sebab menyadari bahaya pandemi yang masih mengintai kita hari ini.
Tapi mereka yang begitu ramai berkonvoi menggunakan sepeda motor itu -- beberapa juga membonceng anak-anak -- hampir tak mengindahkan protokol yang dianjurkan.
Seolah tak ada lagi kekhawatiran terhadap wabah covid-19.
Saya tak mampu menjelaskan ketika istri saya bertanya, mengapa mereka yang berpapasan dengan kami tadi, terlihat tak khawatir dengan virus corona.
Lalu, teringat pada tulisan setahun lalu yang aslinya berjudul 'Back to The Future' ini (tepatnya 3 Juli 2019). Ketika saya mencoba mengungkapkan kegundahan terhadap situasi bangsa kita saat itu.
Saya putuskan untuk menayangkannya kembali. Untuk menyegarkan ingatan kita. Juga menjaga kewarasannya.
***
Awal Mula
Ketegangan politik di tengah kita telah berlangsung cukup lama. Yakni sejak Jokowi-Ahok diusung PDIP dan Gerindra untuk merebut kursi Gubernur DKI Jakarta, pada tahun 2012 lalu.