Pak Ahmadi Hadibroto mengantar status 'dari Soe Hok Gie hingga Rudi Hartono, lalu Ahok' yang kemarin diteruskan di wall pribadinya dengan kalimat yang sangat menarik. Berikut saya kutipkan :
'Buat teman-teman para Akuntan Indonesia, ingatlah 9 dari 11 pendiri Ikatan Akuntan Indonesia pada tahun 1957 adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.'
Pagi ini saya menelusuri komentar rekan-rekan beliau di sana. Salah satu dialog membetot perhatian dan membuat saya terhenyak seketika. Penggalannya --- obrolan antara pak Ahmadi Hadibroto (AH) dengan rekan beliau (YT) --- adalah sebagai berikut ini :
YT : Nama saya udah Indonesia banget sih, dan udah Indonesia luar dalam.
AH : Pada masa itu belum ada yang ganti nama, tapi ke-indonesia-an mereka tidak diragukan.
YT : jaman itu belum wajib ganti nama ya pak? Semoga setelah ganti nama makin DITERIMA ya hehe. Bukan malah dibeda-bedakan apalagi untuk urusan yang kurang tepat --- (penggantian dengan huruf besar pada kata 'diterima' sebagai penekanan saya atas pemicu keterhenyakan di atas tadi - red).
+++
Suatu masa, di tengah kekuasaan Suharto dan Orde Baru selama 32 tahun itu, dikeluarkanlah kebijakan bagi turunan Tionghoa untuk mengganti nama asli mereka dengan sesuatu yang 'terdengar' lebih Indonesia. Tulisan yang menggunakan aksara leluhur mereka di ruang-ruang publik pun tak lagi diperkenankan. Kemudian, banyak turunan dari kelompok itu yang menuruti. Sudono Salim, Williem Soerjadjaja, Eka Tjipta Wijaya, hingga Basuki Tjahaja Purnama adalah sebagian diantara 'korban'-nya.
Di masa kepemimpinan Gus Dur, semua kebijakan berbau diskriminatif itu dicabut. Masyarakat Tionghoa di Indonesia bahkan bisa menerbitkan harian (surat kabar) resmi yang menggunakan aksara dan bahasa moyangnya. Sejak 16 tahun lalu, Metro TV bahkan menyiarkan program berita regular 'Metro Xin Wen' yang diantar dengan bahasa Mandarin. Barongsai pun hadir di mal-mal dan pusat keramaian saat Perayaan Imlek.