Mohon tunggu...
Jihan Salsabilla Denura
Jihan Salsabilla Denura Mohon Tunggu... -

student :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan yang Tak Tersampaikan

28 April 2015   08:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:37 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Minggu pagi yang cerah, bunga bermekaran, udara yang sejuk, panas matahari yang belum menyengat. Pagi itu merupakan pagi yang sangat sempurna untuk memulai aktivitas jogging. Seorang wanita terbangun oleh jam wekernya yang baru saja berbunyi, terlihat bahwa dia sudah terbiasa bangun pada jam segitu, tepatnya pada pukul setengah 6 pagi. Ia berjalan menuju kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Ia pun mulai berjalan menuju pintu dan memulai aktivitasnya seperti biasa. Dia memang tinggal di pedalaman sehingga ia sering bertegur sapa bahkan mengobrol. Baginya, jalan-jalan pagi seperti ini merupakan nostalgia. Angin berdesir dan berbisik kepadanya akankah orang itu kembali kehidupanya lagi. Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat merindukan tawanya, wajahnya, suaranya yang selalui mewarnai hari-harinya dulu.

Setealah mengelilingi desa itu, ia kembali ke rumah pada pukul setengah 7 pagi. “Olivv....” orang itu sudah menunggu di sofa ruang tamu menunggu Oliv pulang. Oliv tidak menghiraukannya dan langsung saja bergegas mandi dan menyiapkan sarapan.

“Oliv.. apa kamu tidak merasa letih teru-terusan jalan pagi sendiri? Akan lebih baik jika kutemani dirimu, kita mungkin da....”

“Tidak, aku tidak letih sama sekali, aku bahkan menikmati nostalgianya, tidakkah kamu merindukannya juga Edward?” tatap Oliv serius. Edward menatap Oliv sambil tersenyum karena Oliv memotongnya bicara.

Sejenak suasana menjadi hening. Lalu Edward berhenti makan dan seketika raut wajahnya berubah. Di dalam hati Edward, ia selalu merindukan senyum Oliv yang menawan yang membuatnya jatuh cinta semenjak di bangku SMA. Namun, sepertinya Oliv lebih memilih orang itu sehingga sejak kepergiannya ia tak pernah tersenyum. Edward dapat menerima itu, tapi tak bisakah kamu juga melihat diriku yang selalu tersenyum di setiap waktu untukmu, Edward membatin.

Oliv menunggui Edward makan dan menatapnyadengan ekspresi datar dan kosong. Setelah Edward selesai makan, ia langsung mencuci piring, menyapu rumah, mengepel, membersihkan debu-debu, serta merapihkan kamar. Sepertinya Edward sudah terbiasa melihat tingkah Oliv yang melakukan semuanya sendiri.

“Oliv, aku pergi dulu ya” sahut Edward dari depan pintu. Tidak ada jawaban, Oliv sebenarnya bingung ketika Edward pergi. Bukankah ini hari minggu? batin Oliv. Tetapi Oliv lebih memilih untuk diam dan melanjutkan  pekerjaan rumahnya.

Edward pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Ia membeli banyak sekali spagheti 500gr, saos La Fonte, kornet daging ukuran large, saos sambal, keju, youghurt, Coca-cola, bawang bombai, sosis, dan lain-lain. Setelah membeli itu semua, ia berhenti di sebuah toko roti bergaya vintage, dengan didominasi warna cokelat, kursi kayu, dan  lampu dinding yang klasik. Bau roti pun menyeruak masuk ke indra penciuman, menandakan kelezatan di setiap gigitannya. Edward langsung memberikan kwitansi kepada seorang pelayan dan dengan gesit mengambil sebuah kotak besar yang sudah dikantongi dan siap di bawa Edward. Tidak ingin berlama-lama, Edward langsung menuju rumah, takut akan terjadi sesuatu terhadap Oliv jika ia pergi terlalu lama.

Sesampainya di rumah, ia melihat Oliv sedang menonton tv dalam diam. Dia pun bergegas ke dapur tanpa menyapa Oliv. Ia memasak spageti kesukaan Oliv dan menghidangkannya bersama kue yang sudah dibelinya tadi. Ia pun mengajak Oliv ke ruang makan.

“Oliv, maukah kamu menemani aku makan?tanya Edward lembut sambil menarik tangan Oliv. Oliv hanya diam dan mengikuti Edward menuju ruang makan. Oliv tidak mengetahui bahwa ruang makan sudah didekorasi oleh Edward dengan lilin dan sajian makanan kesukaan Oliv.

“Happy Anniversary Oliv” kata Edward dengan antusias. Oliv terlihat sedikit terkesan dengan apa yang Edward lakukan. Bagi Oliv, Edward masih seperti yang dulu, selalu penuh dengan kejutan. Kedaan ini mengingatkannya dengan kejadian bebrapa tahun lalu, dimana ia dan Edward masih merupakan pasangan kekasih. Tapi yang berbeda adalah Oliv tidak menunjukan respon yang sama seperti dulu yang langsung memeluk Edward dengan gemas.Sekarang ia hanya terdiam dan membatu di tempat. Edward pun menarik kursi dan mempersilahkan Oliv duduk di sana. Candle Light dinner merupakan agenda mingguan mereka di restoran yang berbeda, karena Edward suka dengan kuliner. Sekarang setelah lama tidak melakukan hal yang sama, suasananya menjadi tegang dan untuk pertama kalinya mereka melakukannya tidak di restoran namun di rumah.

“Oliv, mari kita berdoa lalu meniup lilin ini” kata Edward lalu memjamkan mata dan Oliv melakukan hal yang sama. Tiba-tiba, Edward memcah keheningan dan menyebut harapan dan doanya ”aku ingin kita untuk tetap bersama selamanya sepanjang hidupku sampai hari tuaku, dan melihat satu sama lain, melupakan masa lalu yang sedih dan biarlah kebahagian datang pada kita mulai dari hari ini”. Oliv menatap Edward dalam, sebenarnya perasaan itu masih ada tapi sesuatu telah menghalangi perasaan tulus itu oleh perasaan bersalah yang sangat dalam dari Oliv.

“Mari kita tiup, 1..2..3..” Edward memasang tampang bahagia yang tulus terlihat dari senyumnya. “Edward” sapa Oliv menundukan kepala dengan suara yang terdengar sangat indah bagi Edward. Edward diam dan mendengarkan Oliv dengan seksama. “maafkan aku... maaf, maaf, aku telah membuatmu banyak menderita selama menjadi pasangan hidupku selama ini. Aku masih tidak dapat membirakan dia pergi dari hidupku, aku tidak dapat melupakan kejadian itu Edward”. Cerita Oliv seolah tidak berujung, Edward pun memegang erat tangan Oliv. “tapi, perlu untuk kamu ketahui Edward, selama ini aku tak pernah sedetik pun tak memikirkan tentangnya. Sungguh, ini sangat berat bagiku untuk hidup tanpa sosoknya. Aku yakin kamu pasti merasakan hal yang sama denganku. Betapa bahagianya dulu ketika melihat dia tertawa, belajar berhitung, berbicara, betapa bahgianya ketika memikirkan bagaimana ia akan tumbuh dari hari ke hari, memikirkan masa depannya, menjadi ibu yang selalu ada untuk membantu tugas rumahnya”. Cerita Oliv terdengar panjang, lirih dan kelabu.

Sesaat Oliv terdiam. Air mata mendesak keluar dari pelupuk mata Oliv . Dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungnya makin tak mampu menahan air telaga yang membanjir. Air mata berjatuhan tanpa tercegah. Edward merapat begitu saja. Oliv menjatuhkan bahunya ke dada Edward. Lalu suara Oliv menyendat pada pangkal cerita yang rupanya segera tiba.

Tapi, aku telah membuatnya pergi. Aku bahkan belum sempat meraskan semua kejadian yang ingin kurasakan sebagai ibu. Aku yang lalai sehingga membiarkan anak yang berusia 5 tahun menggunakan kompor, lalu membakar seisi rumah termasuk dirinya senidiri. Aku yang saat itu sedang di warung dekat rumah langsung bergegas pulang setelah mendengar bunyi ledakan yang ternyata sudah berubah menjadi api ganas. Aku ingin berlari masuk ke dalam rumah yang sudah diselimuti api merah dan asap hitam. Aku yakin mendengarnya memanggil-mangggilku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, semua orang mencegahku. Aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri”.

Air mata Oliv semakin deras dan tubuhnya bergetar. Edward memeluknya dengan erat, karena tidak dapat dipungkiri bahwa Edward juga merasa sedih dan menyesal atas kejadian tersebut. Pada saat kejadian itu ia sedang melakukan pekerjaan kantor yang mengharuskan dirinya pergi ke luar kota. Sehinnga ia juga merasakan apa yang Oliv rasakan. Tapi Oliv tetap menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi.

“itu bukan salahmu Oliv, aku telah merelakan dia pergi, kamu harus membiarkan dia pergi, pasti dia juga tidak mau melihatmu terus begini. Ingat kamu tidak sendiri, aku akan selalu berada di sisimu” Edward berusaha menenangkan Oliv.

***

Beberapa bulan setelah malam Anniversary tersebut, Oliv sudah tampak mulai ceria lagi. Edward pun juga merasa senang.

“Oliv, ayo kita berangkat sekarang” teriak Edward dari dalam mobil, lalu terlihatlah Oliv berlari dari dalam rumah dengan tergopoh-gopoh sambil membawa banyak sekali barang. Hari ini mereka akan kemping di sebuah bukit, jalannya berkelok-kelok dan berada di pinggir tebing yang tinggi. Mereka pun sangat menikmati perjalanannya. Seperti gempa bumi dan tiba-tiba saja membuat mobil mereka berguncang dan membuat jalan mobil tersebut menjadi tidak stabil. Bebatuan pun berjatuhan dari atas tebing menghantam mobil mereka. Mereka tidak dapat mengelak karena itu semua terjadi dengan sangat cepat.

Oliv membuka matanya dan melihat semuanya putih, ia berjalan di ruangan putihyang kosong itu. Seorang anak kecil yang tidak asing lagi dan seorang pria tinggi yang merupakan anak dan suaminya sedang melambai padanya dengan senyum yang sumringah. Oliv pun bergabung bersama mereka dan mereka semua tersenyum bahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun