Mohon tunggu...
Muhammad Nurjihadi
Muhammad Nurjihadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Just a Simple Thinker

Selanjutnya

Tutup

Money

Politik Ekonomi Tembakau: Perselingkuhan Industri Rokok dan Farmasinye Anti Tembakau Global)

19 September 2012   05:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:15 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sejak berabad-abad yang lalu, tembakau menjadi komoditas strategis dalam memajukan ekonomi suatu negara. Tidak berlebihan jika komoditas ini disebut sebagai “emas hijau”. Pada tahun 2011, pasar tembakau global bernilai sekitar US$ 378 miliar atau setara dengan Rp 3.500 Triliun. Jika dianalogikan sebagai sebuah negara, maka berdasarkan data Bank Dunia tahun 2011 negara tembakau itu akan menjadi negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar ke 29 di dunia. Unggul dari si raja minyak Saudi Arabia. Sejak akhir dekade 1990-an, para pelaku kesehatan gencar mengkampanyekan bahaya merokok terhadap kesehatan. Akibatnya banyak negara mengambil kebijakan pengetatan bisnis rokok dan tembakau. Tapi ironisnya, ditengah semakin menurunnya produksi tembakau global, para pelaku industri rokok justeru mengalami peningkatan pendapatan. Disamping itu, mencuatnya kekhawatiran akan bahaya merokok berhasil mendongkrak popularitas dan pendapatan industri farmasi, terutama yang berkaitan dengan tembakau. Sampai disini, kesimpulan yang saya ambil adalah “it’s just about money”.

Tembakau mulai dikenal manusia sejak abad pertama sebelum masehi. Suku Indian di Amerika diketahui menggunakan tembakau untuk keperluan pengobatan dan religius pada masa itu. Pada abad-abad selanjutnya, tembakau berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi salah satu komoditas penting perdagangan global (Herjuno dkk, 2012). Dalam perkembangan selanjutnya,tembakau diolah menjadi rokok yang digemari oleh orang-orang di Eropa dan Asia. Dari sinilah bisnis tembakau untuk keperluan komersil (industri rokok) mulai berkembang.

Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi yang luar biasa untuk pengembangan tembakau. Oleh karenanya, pemerintah Kolonial Belanda dalam kebijakan tanam paksanya meminta, atau tepatnya memaksa rakyat Indonesia untuk menanam tembakau guna memenuhi kebutuhan global dan meningkatkan pendapatan negara. Seiring perjalanan waktu, pemaksaan menanam tembakau ini berkembang menjadi kebiasaan yang menyebabkan para petani tembakau yang dipaksa itu tetap menanam tembakau setelah berakhirnya politik tanam paksa. Bahkan ketika pemerintah kolonial melakukan liberalisasi ekonomi secara ekstrem di wilayah Indonesia, agribisnis tembakau tetap berkembang tanpa campur tangan pemerintah kolonial.

Industri rokok mengalami masa kejayaan pada abad ke 20. Kebudayaan merokok pada masa itu menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai bentuk. Di Indonesia berkembang rokok tradisional yang dikenal dunia dengan nama “kretek”. Rokok kretek ini merupakan racikan asli orang Indonesia yang membuat rokok dari bahan tembakau yang ditambah dengan cengkeh dan saus sebagai penyedap rasa. Pada tahun 1913, seorang tionghoa Indonesia bernama Liem Seeng Tee untuk pertama kalinya memproduksi rokok kretek untuk keperluan komersial. Setelah mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, industri rumah tangga Liem ini terus berkembang dan diteruskan oleh anak-cucunya.Pada tahun 1930, industri rumah tangga ini diresmikan secara resmi dengan nama NVBM Handel Maatschapij Sampoerna yang menjadi cikal bakal H.M. Sampoerna yang kita kenal hari ini. Saat ini PT H.M Sampoerna merupakan penguasa pangsa pasar rokok Indonesia dengan menguasai 25% pasar rokok mengungguli PT Gudang Garam dan PT Djarum tbk yang masing-masing menguasai 21% dan 19% (Bursa Efek Indonesia, 25 Mei 2009).

Indonesia menikmati hasil cukup besar dari industri tembakau. Pada tahun 2005, industri tembakau dengan segala multiplier effect-nya menyumbang sekitar Rp 48 Triliun untuk PDB Indonesia. Jumlah ini terus meningkat setiap tahun seiring meningkatnya penerimaan cukai tembakau. Pada tahun 2011 saja, penerimaan negara dari cukai tembakau menembus angka Rp 60,7 Triliun. Jumlah ini meningkat secara berkala dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011 negara menerima pendapatan Rp 12,9 Triliun dari cukai SDA non migas (pertambangan umum, kehutanan, perikanan dan panas bumi). Artinya nilai cukai tembakau lima kali lebih besar dibanding cukai SDA non migas (diolah berdasarkan table I-O 2005-2011 dari BPS).

Pada penghujung abad ke 20 berkembang isu bahaya merokok bagi kesehatan. Munculnya isu ini berbarengan dengan masa kejayaan industri farmasi global (obat-obatan kimia). Setelah berhasil mempengaruhi persepsi publik internasional tentang manfaat pengobatan kimia dan “tidak ilmiahnya” pengobatan tradisional,industri farmasi global menghasilkan keuntungan fantastis dari penjualan obat-obatan kimia. Atas nama “ilmu pengetahuan dan teknologi”, setiap obat yang tidak didasarkan atas penelitian di lembaga-lembaga riset formal dianggap berbahaya dan tidak bermanfaat. Akibatnya praktek-praktek pengobatan tradisional di seluruh dunia mengalami kemunduran, tak terkecuali di Indonesia. Masa kejayaan industri farmasi itu berlanjut dengan kampanye anti tembakau. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyadarkan orang bahwa rokok mengandung nikotin yang berbahaya bagi kesehatan. Pada awalnya, isu ini mengagetkan publik dan menampar industri rokok global. Pertentangan antara industri rokok dan industri farmasi tidak dapat dihindarkan. Namun dalam perjalanan waktu, perseteruan kedua jenis industri ini menemui titik temu yang menguntungkan kedua belah pihak. Sejak itulah terjalin hubungan “perselingkuhan” antara industri rokok dan industri farmasi.

Dengan gencarnya kampanye anti tembakau global, industri farmasi meresponnya dengan memproduksi obat-obatan kimia yang bisa mengurangi dampak nikotin tembakau. Lebih dari itu, industri farmasi juga mengembangkan alat dan bahan bernilai tinggi untuk keperluan pengobatan sakit tenggorokan dan paru-paru yang disebabkan oleh aktifitas merokok. Bayangkan jumlah alat dan bahan yang dijual ke seluruh penjuru dunia untuk keperluan itu. Di Indonesia, akhir-akhir ini kita menemukan banyaknya produk baru yang berkaitan dengan aktifitas merokok. Anda tentu mengenal salah satu produk pasta gigi yang dikhususkan untuk para perokok yang sedang gencar diiklankan di media massa (saya tidak mau menyebut merek), lalu berbagai produk makanan lainnya yang diiklankan “sangat baik” untuk mengurangi bahaya merokok.

Selain keuntungan bagi industri farmasi, industri rokok juga mendapat keuntungan yang tidak kalah mengesankan dengan adanya isu anti rokok atau anti tembakau itu. Dengan adanya isu tersebut, banyak negara mengambil kebijakan khusus untuk industri rokok. Kebijakan yang diambil umumnya adalah meningkatkan pajak dan cukai tembakau dan melarang atau membatasi impor tembakau. Tingginya pajak dan cukai tembakau ini menjadi alasan industri rokok untuk membeli tembakau petani dengan harga murah. Sehingga industri rokok bisa mendapatkan bahan baku dengan harga yang murah dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Dalam sebuah pertemuan perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di bidang tembakau se-Asia di Jakarta pada tahun 2011 kemarin, salah seorang CEO dalam pidatonya mengatakan kita bisa memproduksi satu batang rokok dengan biaya 5 sen dan menjualnya dengan harga 1 dolar. Saya kira inilah yang menjadi alasan kenapa industri rokok terus mengalami peningkatan pendapatan ditengah terus menurunnya produksi tembakau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun