Menjelang duduk di bangku sekolah dasar (SD), orang tua penulis membangun sebuah rumah di salah satu daerah pedalaman. Rumah beton itu termasuk rumah termewah pada zamannya di desa tersebut.
Di kamar mandi, dibangun bak penampungan air yang cukup besar. Jika bak tersebut penuh, airnya cukup untuk keperluan satu minggu atau bahkan lebih.
Mengapa bak air tersebut dibangun? Bak tersebut berfungsi untuk menampung air hujan. Pada waktu itu, jaringan air bersih belum masuk ke rumah penduduk. Hanya ada dua bak umum yang menampung air bersih di desa tersebut.
Dua bak umum tidaklah cukup bagi ratusan penduduk pada jam-jam tertentu, khususnya sore hari. Tidak mengherankan bila penduduk mengantri untuk mengakses air bersih dan mandi, sehingga masih ada penduduk yang baru bisa mandi pada malam hari. Â
Bila jaringan air tersebut tidak mengalir (biasanya karena tersumbat), maka penduduk desa biasanya memanfaatkan air hujan untuk mencuci. Untuk keperluan minum, penduduk mencari air di hutan atau di bak umum desa tetangga.
Keberadaan bak di rumah sangat penting untuk menampung air hujan. Air hujan yang ditampung umumnya dimanfaatkan untuk keperluan mencuci piring dan pakaian, serta membersihkan sebagian tubuh (kaki dan tangan) setelah pulang dari ladang. Namun, air hujan jarang digunakan untuk keperluan minum dan mandi.
Hampir semua penduduk menampung air hujan dengan drum dan ember, tetapi tidak banyak yang membangun bak khusus untuk menampungnya di rumah. Biasanya hanya dilakukan oleh penduduk yang memiliki rumah beton (besar).
Pemanfaatan air hujan tidak hanya di pemukiman penduduk, tetapi juga di daerah perladangan. Penduduk yang semuanya hidup dari pertanian, umumnya memiliki gubuk di ladangnya. Di samping gubuk biasanya terdapat drum sebagai wadah penampungan air hujan.
Air hujan yang ditampung di ladang dimanfaatkan untuk keperluan pertanian seperti menyiram/menyemprot tanaman, minuman ternak, Â pencucian/pengolahan hasil pertanian, dan sebagainya. Di samping itu, terkadang air hujan juga dimanfaatkan untuk keperluan memasak sewaktu berada di ladang.
Di desa pedalaman tersebut, sebenarnya tidak sulit mendapatkan air bersih untuk sekedar kebutuhan minum dan memasak. Ada beberapa titik mata air dan sungai yang mengelilingi desa. Makanya, sangat jarang penduduk menggunakan air hujan untuk keperluan air minum.
Hanya saja, bila  air bersih yang dialirkan (dengan pipa kecil) dari pengunungan mengalami masalah, penduduk terpaksa berjalan kaki ratusan meter ke hutan untuk mendapatkan air minum. Penulis sendiri pernah mengalaminya ketika masih duduk di bangku SD.
Kini, semua rumah penduduk di desa tersebut sudah mendapatkan air bersih. Mereka bergotong-royong membangun jaringan air bersih dari pegunungan hingga ke semua rumah penduduk. Meskipun demikian, hingga kini penduduk desa tetap memanfaatkan air hujan di rumah maupun di ladang.
Belajar dari Daerah Pedalaman
Pemanfaatan air hujan yang dilakukan oleh penduduk di daerah pedalaman tersebut menjadi pelajaran berharga. Masyarakat pedalaman yang sering dicap memiliki pengetahuan rendah, pada kenyataannya bisa melakukan hal sederhana tetapi memiliki makna yang luar biasa.
Bagi penduduk desa, pemanfaatan air hujan berarti penghematan, kebersihan, adaptasi dengan lingkungan, dan pemanfaatan barang bekas. Baik di rumah maupun di ladang, pemanfaatan air hujan dapat menghemat penggunaan air dari mata air, maupun penghematan dalam hal waktu.
Di pemukiman penduduk, mereka yang keluar masuk lewat pintu depan, seringkali menyediakan penampungan air hujan di depan rumah dengan memanfaatkan wadah bekas. Air hujan tersebut digunakan untuk mencuci kaki sebelum memasuki rumah. Â Kadang air tersebut juga dimanfaatkan untuk membersihkan teras rumah dan mencuci kendaraan.
Apa yang dilakukan oleh penduduk pedalaman tersebut bisa juga dilakukan oleh penduduk kota. Bagi masyarakat kota, pemanfaatan air hujan tidak hanya bermakna pada penghematan, kebersihan (sanitasi), tetapi juga sejalan dengan peningkatan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Andaikan penduduk kota memanfaatkan air hujan untuk merawat bunga dan tanaman rempah, tentu bermanfaat bagi lingkungan dan juga ekonomi. Air yang tadinya terbuang percuma, bisa digunakan untuk mendukung pekarangan yang indah dan pemenuhan kebutuhan dapur.
Di beberapa tempat, di kota maupun desa, terjadi krisis air atau kekeringan. Mereka sangat kesulitan dalam mengakses air bersih. Maka, pemanfaatan air hujan merupakan solusi efektif untuk jangka panjang. Tinggal bagaimana menampung, menyaring, dan mengolah air hujan tersebut agar bisa dimanfaatkan secara langsung.
Perlu ada gerakan bersama untuk memanfaatkan air hujan dalam mengatasi krisis air bersih. Pemerintah, akademisi, peneliti, media, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), Kompasianer, dan semua elemen perlu memikirkan dan mendorong gerakan ini.
Penutup
Kini dan ke depan, persoalan ketersediaan air bersih merupakan persoalan yang serius. Di satu sisi, peningkatan jumlah penduduk sejalan dengan peningkatan kebutuhan akan air bersih. Di sisi yang lain, eksploitasi alam yang berlebihan menyebabkan penurunan ketersediaan air bersih.
Krisis air bersih adalah masalah kita bersama, sehingga harus disikapi secara bersama-sama. Selain dengan penghematan air bersih, pemanfaatan air hujan juga merupakan langkah yang tepat dalam mengatasi krisis air bersih.
Dengan demikian, penghematan dan pemanfaatan air hujan bukan hanya dilakukan oleh mereka yang kesulitan mengakses air bersih, tetapi juga semua pihak. Setiap tetes hujan yang ditampung dan dimanfaatkan itu sungguh berarti dalam mewujudkan bumi yang merdeka dari krisis air.
Terkahir, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kompasiana dan juga Kompasianer Eliza Bhakti yang telah mengangkat topik yang sangat penting ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI