Mohon tunggu...
Jery Rhainhart Tampubolon
Jery Rhainhart Tampubolon Mohon Tunggu... IT Specialist | Social Justice/Activist | Photographer -

"All Humans Have Rights Let Them Be Equal"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yahudi dan Israel

23 Juli 2017   12:44 Diperbarui: 23 Juli 2017   12:49 1936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Louis-Napoleon was elected President of France largely on the basis of wide peasant support.

Akhmad Sahal

Kisah kelahiran zionisme pada dasarnya adalah kisah tentang cinta kaum Yahudi terhadap Eropa modern yang bertepuk sebelah tangan. Pendiri utama gerakan ini, Theodor Herzl (1860-1904), wartawan Yahudi kelahiran Hungaria, pada awalnya adalah pemeluk teguh asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern. 

Sampai suatu ketika ia merasa Eropa sejatinya menampik cintanya. Herzl, meyakini, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi, pembebasan dari diskrimnasi dan keterkungkungannya dalam kehidupan ghetto, adalah dengan mengadopsi semangat Pencerahan dan the idea of progress yang dilantunkan oleh modernitas.

Caranya dengan mengikuti seruan Napoleon Bonaparte. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada abad 18 membantu penyebaran ide-ide Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, terutama tentang kesetaraan "Hak-Hak Manusia dan Warga Negara." Pertanyaan Napoleon kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jika mereka mendapatkan hak-hak hukum dan politik yang setara dengan warga Kristen dan sekular, apakah mereka bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial keYahudian untuk menjadi individu-individu modern? Bisakah mereka melepaskan diri dari loyalitas mereka kepada otoritas rabbi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular?

Dengan tawarannya itu, Napoleon mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas keYahudian dengan cara melebur mereka ke dalam masyarakat Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau berkonversi ke Kristen. Akan tetapi, respon kaum Yahudi justru sangat antusias. Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi. Mereka meyakini Pencerahan bukan hanya tidak bertentangan dengan keYahudian, melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang terkenal: lihyot yahudi ba bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan manusia di luar).

Kaum Yahudi di Perancis, misalnya, memberikan justifikasi peleburan identitas keYahudian dan ke-Perancisan dengan melihat Revolusi Perancis 1789 sebagai peristiwa mesianik dalam sejarah Yahudi modern, dengan menganggap liberte, egalite, fraternite sebagai hukum Sinai kedua. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai "Israelites de France." Hal yang sama juga terjadi di Jerman, tempat di mana gerakan Pencerahan Yahudi (Haskalah) yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru tumbuh dengan subur.

Para penggerak Reform Judaism di Jerman yang berupaya memposisikan agama Yahudi sebagai kredo etika universal begitu loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut Berlin sebagai Jerusalem baru, "tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras kepala." Ungkapan doa yang diwariskan turun temurun, l'shana habaa b'Yerushalaim (tahun mendatang di Yerusalem) dilihat hanya sebagai bagian dari ungkapan ritual yang sama sekali tidak memuat program politik untuk memulihkan kembali tatanan politik di Yerusalem.

Dengan menjadi pemeluk teguh ide-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka yakin bisa "persoalan Yahudi" yang mendera mereka mereka selama ratusan tahun hidup dalam diaspora di Eropa akan bsia dipecahkan secara tuntas. Kini identitas keyahudian tidak lagi mereka definisikan dalam kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan kepada halakhah (hukum Yahudi), melainkan berdasarkan Pencerahan, yakni sebagai individu dengan kebebasan dan kekhasannya sendiri.

Demikianlah, Theodor Herzl menyokong penuh integrasi Yahudi ke dalam masyarakat Eropa. Sampai kasus Dreyfus mencuat pada 1882. Sebagai koresponden koran Wina, Neue Freie Presse, di Paris, Herzl meliput kasus Dreyfus (Dreyfus affair). Afred Dreyfus, kapten berdarah Yahudi yang sepenuhnya asimilasionis, dituduh oleh publik Perancis menjadi mata-mata bagi Jerman dan kemudian dipecat secara tidak hormat dari dinas militer Perancis. Tuduhan itu berdasarkan anggapan bahwa meskipun sudah sepenuhnya menjadi warga negara Perancis, Dreyfus betapapun adalah seorang Yahudi, yang tak mungkin loyal terhadap negaranya.

Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, tempat lahirnya Pencerahan. Lagipula, ttidak lama sebelum itu, yakni pada 1871, progrom dan persekusi terhadap Yahudi dalam skala masif terjadi di Rusia.

Kasus ini membuat Herzl berkesimpulan, meskipun bangsanya sudah tolah dalam upayanya untuk ter-Eropa-kan, mereka tetap saja menjadi target kebencian antisemit oleh masyarakat Eropa, yang notabene sudah termodernkan. Atas dasar itulah Herzl lalu menegaskan bahwa "persoalan Yahudi" di Eropa bukanlah persoalan kultural, misalnya karena faktor prasangka atau kesalahpahaman masyarakat Kristen Eropa, yang bisa diatasi dengan pengetahuan rasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun