Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Para Perempuan di Sekitar Ahmad Fathana dan Logika Kita

15 Mei 2013   08:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:33 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah kekuasaan mampu menaklukkan kekuatan seks, atau justru sebaliknya?

Apakah kekuasaan mampu menaklukkan kekuatan seks, atau justru sebaliknya? (Sumber:  http://www.cartoonmovement.com/depot/cartoons/2011/02/w_p3aU4SRBObdmRdTm_Mig.jpeg)

Kasus Ahmad Fathana dalam pusaran impor daging sapi semakin hari semakin memunculkan berbagai kejutan. Laksana sebuah drama, kisah seputar keterlibatan pengusaha yang punya hubungan dekat dengan salah satu Partai Politik tersebut sulit diprediksi kapan klimaksnya. Dan yang menarik, kejutan-kejutan itu menyelinap masuk ke ranah publik sebagai semacam thrilling dalam film horor ketika kita sulit menebak seperti apa kisah itu akan berakhir. Kisah mengalirnya uang puluhan, ratusan, bahkan milyaran rupiah ke rekening beberapa perempuan – konon 20 perempuan sudah terdeteksi pernah menerima aliran uang dari sang pengusaha – mungkin yang menjadi paling menarik untuk disimak. Pemberitaan media massa seputar kisah ini difokus dan di-frame sebegitu rupa sehingga kita seakan kehilangan jejak bahwa kita sedang menyimak sebuah kisah kriminal pencucian uang atau korupsi, dan bukan kisah cinta. Tetapi lagi-lagi, yang menarik dijual adalah sisi cinta yang mengiringi kisah itu, mungkin karena pemberitaan mengenai korupsi di Republik ini bukanlah hal yang baru. Di benak publik pun pasti muncul banyak tanda tanya. Jika ini adalah kasus pencucian uang, mengapa harus dilakukan melalui rekening para perempuan yang nota bene bukan pengusaha? Apakah pemberian uang kepada para perempuan itu menjadi semacam tindakan karitatif atau dalam bahasa agama menyantuni perempuan, anak yatim dan para janda? Atau, apakah ada interes tertentu di balik pemberian uang tersebut? Meminjam kata-kata dari mulut Septi Sanustika, istri Ahmad Fathana sendiri ketika menyindir para perempuan penerima uang dari suaminya, “Jika mereka perempuan baik-baik, kenapa menerima uang dari laki-laki yang adalah suami orang?” Dua term bisa diangkat sebagai kata kunci untuk ditafsir lebih lanjut. Pertama, “perempuan baik-baik”. Kedua, “suami orang”. Secara tidak sadar, Septi sebenarnya sedang bermain dengan dua gagasan moral yang bisa jadi mewakili nilai dan tradisi masyarakat kita. Pertama, konsep tentang orang baik atau tepatnya perempuan baik. Di bawah sadar Septi dan mungkin kita semua, perempuan baik-baik adalah mereka yang tahu diri, yang tidak melacurkan diri demi alasan apapun, yang menghormati tubuhnya hanya untuk suaminya, yang berbakti pada sang suami, dan seterusnya. Ini sebuah pandangan moral dari sebuah masyarakat dengan tradisi moral tertentu pula, yang melihat perempuan sebagai “abdi” suami. Pandangan semacam ini tentu bisa diperdebatkan oleh kaum feminis atau para perempuan penganut paham kebebasan atas tubuhnya. Kaum feminis bisa jadi akan menolak gagasan bahwa perempuan adalah “abdi” suami, yang mempersembahkan seluruh tubuh dan jiwanya untuk suaminya, yang hatinya tidak mendua dan seterusnya. Kalau pun gagasan perempuan sebagai “abdi” laki-laki ini ditolak, apakah penolakan itu juga berarti seorang perempuan bebas mempergunakan tubuhnya untuk apa pun juga yang dia inginkan tentu masih bisa diperdebatkan. Masalahnya, tidak semua feminis adalah kaum pembela kebebasan atas tubuh. Ini akan berbeda dengan kaum perempuan yang merasa bebas menggunakan tubuhnya untuk meraih apa saja yang dia inginkan, termasuk “membiarkan tubuhnya digauli tubuh lain” demi alasan apa pun (tidak hanya karena uang, suka sama suka tanpa uang pun bisa). Jika perspektif liberalis ini dipertahankan, mungkin tindakan pemberian uang oleh Ahmad Fathana bisa sedikit dimengerti. Uang bagi orang yang memiliki kekayaan seperti Beliau pertama-tama bukan sebagai alat untuk membeli kenikmatan seks. Uang adalah sarana untuk mendekatkan diri sekaligus menunjukkan kekuasaan. Bahwa dengan uang, seseorang mampu “menaklukkan” sekian banyak perempuan. Dan itu menimbulkan kenikmatan dan sensasi yang barangkali jauh lebih hebat ketimbang orgasme setelah 30-an menit bersenggama. Kedua, gagasan mengenai suami orang. Lagi-lagi kita berhadapan dengan pemikiran bahwa suami orang itu tidak boleh dan seharusnya memang tidak diganggu. Pertanyaannya, bagaimana kalau suami orang itu yang lebih dahulu mengganggu? Mungkin kita akan menjawab, “Ya, jika suami orang itu mengganggu, kamu [kaum perempuan] tidak boleh membiarkan dirimu diganggu, jika kamu perempuan baik-baik. Perhatikan bahwa cara tafsir demikian akan kembali ke poin pertama yang saya angkat di sini, yang sebetulnya juga menegaskan bahwa perempuanlah kuncinya. Dengan kata lain, jika perempuan tahu menjaga diri – menjadi perempuan baik-baik – maka dia tidak akan membiarkan dirinya diganggu, dan dengan demikian tidak akan menjerumuskan laki-laki suami orang ke perselingkuhan. Apakah dengan demikian, semua perempuan penerima uang dari Ahmad Fathana bukanlah perempuan baik-baik? Menurut logika yang saya bangun di sini, jawabannya adalah “YA”. Tetapi sekali lagi, gagasan semacam ini sangat kontroversial. Pertanyaan kritisnya, “Mengapa seluruh masalah perselingkuhan dan syahwat harus diarahkan kepada perempuan sebagai penyebabnya?” Persis di sinilah kita sebetulnya berhadapan dengan sebuah kultur yang memang patriarkal, yang melihat tubuh perempuan sebagai tidak lebih dari objek pemuas birahi. Bagaimana kalau cara berpikir yang saya bangun di sini dibalik sehingga menjadi: “Jika kamu laki-laki baik-baik, kamu seharusnya sadar bahwa kamu memiliki istri dan anak, dan bahwa kesadaranmu itu bisa mencegahmu untuk tidak mengganggu atau berhubungan dengan perempuan lain selain istrimu.” Tetapi bagaimana kalau laki-laki menjawab, “Emangnya orang di luar rumah tahu kalau aku ini suami orang?” Jika jawaban sudah seperti itu, diskusi akan terus berlanjut tak berkesudahan. Dengan cara ini saya mau menyudahi refleksi saya. Salam dan selamat beraktivitas!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun