Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filsafat Tanpa Imajinasi?

6 Desember 2017   09:54 Diperbarui: 6 Desember 2017   10:27 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi ujian lisan filsafat ilmu (5/12/2017). Foto diambil dengan persetujuan mahasiswa.

Dapatkan orang mempelajari filsafat tanpa imajinasi? Dengan "imajinasi" saya maksudkan sebagai "kemampuan kreatif individu dalam membentuk atau membangun imaji/citra/gambaran, gagasan, dan berbagai sensasi di dalam pikirannya tanpa input atau data penginderaan langsung, entah itu melihat, mendengar, merasakan, menyentuh, dan semacamnya (soal imaginasi). 

Pertanyaan ini lahir dari "kegalauan" saya selaku dosen filsafat yang selalu merasa semakin tahun semakin rendah saja minat dan ketertarikan mahasiswa memelajari filsafat. Sebagai latar belakang, setiap semester Ganjil saya pasti mengajar Filsafat Ilmu di Fakultas psikologi dan Bioetika di Fakultas Teknobiologi. Semuanya di Kampus Saya, Unika Atma Jaya Jakarta. 

Saya menganggap pertanyaan ini penting lantaran cara mahasiswa menyerap dan memahami filsafat itu seperti membaca dan memahami teks ilmu alam dan ilmu hafalan lainnya. Saya berani mengatakan bahwa mahasiswa sekarang umumnya tidak memiliki imajinasi dalam berpikir. Lebih mengkhawatirkan lagi, mereka tidak memiliki kreativitas dan keberanian dalam berpikir. 

Mereka sudah memiliki "pakem" atau pola (pattern) berpikir tertenu yang diindoktrinasi ilmu mereka (ilmu yang menjadi program studi atau jurusan mereka) yang menyulitkan mereka keluar dari cara berpikir keilmuan tersebut.

Demikianlah, misalnya, ketika saya mengatakan bahwa "kehidupan yang membahagiakan tidak ditentukan oleh berapa banyaknya uang yang dia belanjakan ketika bepergian ke luar negeri, tetapi oleh bagaimana orang itu merealisasikan seluruh potensi dirinya, apakah orang itu dapat memahami pernyataan ini tanpa misalnya merujuknya ke pernyataan Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, yang membanggakan dirinya sebagai orang kaya dan berbahagia karena membelanjakan paling sedikit 5 Milyar Rupiah sekali bepergian keluar negeri?

Seperti biasanya Ujian Akhir Semester (UAS) mahasiswa psikologi yang mengambil kuliah Filsafat Ilmu diselenggarakan secara lisan. Saya sudah membagikan kisi-kisi ujian lisan kira-kira sebulan yang lalu dan berharap mahasiswa dapat memelajari materi berdasarkan kisi-kisi tersebut supaya bisa memasuki ruangan ujian lisan dengan rasa percaya diri yang agak tinggi dan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. 

Meskipun begitu, berkaca pada hasil ujian tengah semester, penilaian atas paper/makalah yang mereka hasilkan serta catatan atas dinamika kelas, saya sebenarnya agak "pesimis" mahasiswa saya bisa menunjukkan performa yang baik.

Anda bisa bayangkan sendiri. Bahkan ketika persiapan menghadapi ujian lisan telah dibantu dengan kisi-kisi saja mahasiswa tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, apalagi tanpa kisi-kisi. Demikianlah, kelompok demi kelompok segera duduk di hadapan saya dan siap menjawab berbagai pertanyaan dari saya. Setiap kelompok yang terdiri dari 3 mahasiswa itu akan diuji secara lisan selama 30-40 menit.

Untuk meminimalisir rasa kecewa atas performa yang buruk, saya bahkan mengajukan pertanyaan pertama yang sungguh amat sederhana. Sambil menyebut nama, saya bertanya, "Kamu merasa paling siap di bagian apa dari materi yang dipelajari?" 

Jangankan mengharapkan jawaban tegas, cukup banyak yang bahkan tersenyum sambil mengatakan, "Membaca semuanya sih pak, tapi sedikit-sedikit." Masalahnya, dari sedikit yang mereka ketahui itu, pengatuan mereka pun tetap sedikit.

Seorang mahasiswi saya minta menjelaskan apa itu "kualitas primer" dan "kualitas sekunder" sebagai kategori dalam memahami fenomena berdasarkan pemikiran John Locke.  Di luar dugaan saya -- itu karena kehadiran mahasiswi ini 'mentok' alias pas 75 persen dan ujian tengah semesternya pun susulan -- dia dapat menjelaskannya secara cukup baik dengan menggunakan kata-katanya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun