Jenggala, sebuah kata yang jarang berbunyi dalam percakapan di lingkungan sehari-hari, tetapi sesungguhnya menyimpan makna yang dalam. Jenggala adalah sebutan kuno untuk hutan lebat atau belantara, tempat di mana alam tumbuh tanpa campur tangan manusia. Di dalam jenggala, kehidupan berlangsung dalam harmoni yang tersembunyi. Akar-akar pohon saling terhubung, hewan-hewan liar berjalan mengikuti jejak nenek moyangnya, dan udara yang kita hirup berasal dari dedaunan yang setiap hari menyerap karbon dioksida lalu melepaskan oksigen ke dunia.
Secara ekologis, jenggala memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan bumi. Ia merupakan penyerap karbon alami yang membantu mengurangi dampak pemanasan global. Hutan tropis seperti jenggala di Kalimantan, Papua, dan Sumatra menjadi rumah bagi berbagai spesies langka dan endemik, seperti orang utan, cendrawasih, anoa, dan rafflesia. Selain itu, jenggala juga menjaga siklus air, menyimpan cadangan air tanah, serta mengatur aliran sungai yang menopang kehidupan manusia di daerah hilir. Ketika hutan ditebang dan digantikan oleh kebun atau area pertambangan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satwa liar, tetapi juga oleh manusia: terjadi banjir, kekeringan, dan hilangnya sumber pangan alami.
Sayangnya, keberadaan jenggala kini terancam. Penebangan liar, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, dan eksplorasi tambang yang tidak terkendali terus mengurangi luasnya. Menurut laporan terbaru, Indonesia kehilangan ratusan ribu hektare hutan setiap tahun. Meskipun angka itu terdengar seperti data biasa, sebenarnya di baliknya terdapat ekosistem yang hancur, rumah yang hilang, dan masa depan yang sedang dipertaruhkan. Bahkan masyarakat adat yang selama ini hidup berdampingan dengan hutan juga ikut terdampak. Mereka kehilangan ruang hidup, budaya, serta sumber makanan alami yang telah dijaga turun-temurun.
Namun, jenggala bukan hanya sekadar objek penelitian atau isu lingkungan. Ia juga hadir dalam karya sastra, legenda, dan nilai spiritual. Dalam cerita rakyat, jenggala sering menjadi tempat tokoh-tokoh mencari pencerahan, bertemu makhluk gaib, atau melarikan diri dari dunia manusia yang penuh persoalan. Di tengah kabut pagi dan suara dedaunan, jenggala seolah berbicara. Bukan dengan suara nyata, melainkan melalui getaran kehidupan. Ia mengingatkan manusia akan posisi aslinya, yaitu bukan sebagai penguasa alam, melainkan sebagai bagian kecil dari jaringan kehidupan yang lebih luas.
Bayangkan kita berdiri di tengah jenggala saat embun yang masih menetes dari ujung daun. Udara terasa sejuk dan segar, jauh dari polusi. Dari kejauhan terdengar suara burung, mungkin dari spesies yang belum pernah terdokumentasikan. Di saat seperti itulah kita bisa merasakan bahwa bumi masih hidup, masih bernapas, selama kita tidak menutup jalan napasnya.
Menjaga jenggala berarti menjaga kehidupan kita sehari-hari. Bukan hanya untuk satwa liar atau masyarakat adat di sekitarnya, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Sebab udara bersih, air yang layak, dan iklim yang stabil tidak dapat diciptakan ulang di laboratorium. Semuanya tumbuh bersama pohon, hujan, dan tanah, di dalam jenggala yang terus menunggu untuk dihargai dan dijaga.
Untuk itu, kita perlu mengubah cara pandang terhadap hutan. Hutan bukanlah lahan kosong yang menunggu untuk dieksploitasi, melainkan ruang hidup yang memiliki hak untuk tetap lestari. Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini, melalui pendidikan di sekolah, cerita-cerita yang kita dengar, kebijakan yang berpihak pada lingkungan, hingga keputusan sehari-hari yang kita ambil, seperti mengurangi penggunaan produk yang menyebabkan kerusakan hutan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI