Mohon tunggu...
Jeng Mar
Jeng Mar Mohon Tunggu... -

Full-time teacher with an addiction.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nakal Itu Kuno

5 Maret 2014   02:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:14 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393944128762775128

[caption id="attachment_325889" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Teman yang dekat dengan saya pasti tahu kalau saya paling menghindari penggunaan kata ‘nakal’ karena kata tersebut sangatlah abstrak di mata saya. Lebih ekstremnya, saya menganggap mereka yang masih menggunakan kata ini sebagai orang yang kuno. Hehe. Berikut adalah alasan mengapa saya menyebutnya sebagai kata yang abstrak.

Saat Anda melihat seorang anak menjambak rambut temannya, Anda berteriak kepadanya, “Hey! Jangan nakal!” Anak tersebut akan berpikir, Oh...yang saya lakukan barusan namanya nakal to... (padahal dia menjambak).

Besoknya lagi, karena dia tidak boleh nakal (baca: menjambak) maka dia mencari ide yang lebih ‘keren.’ Dia mendorong temannya. Serta merta Anda pun meneriakinya lagi, “Hey! Sudah dibilang jangan nakal!” Anak tersebut pun bingung. Loh? Kok aku dibilang nakal? Aku ngga nakal (baca: aku tidak menjambak). Lalu dia pun beranggapan, Oh, berarti aku tidak boleh nakal (mendorong).

Hari berikutnya, dia tidak akan nakal lagi (baca: tidak akan menjambak dan mendorong lagi). Hari ini dia memukul wajah temannya. Dan Anda meneriakinya lagi, “Jangan nakal!”

Ah, betapa bingungnya anak tadi. Dia sudah tidak nakal, masih juga dibilang nakal. Inilah mengapa saya menyebut kata ‘nakal’ merupakan kata yang abstrak. Dan itu masih tiga contoh saja. Saya bahkan belum menyebutkan hal-hal yang menyangkut kesopanan kan?

Saya lebih memilih memakai kata yang memang merupakan kata aksi yang terjadi. Misalnya anak memukul, maka saya lebih memilih berkata, “Jangan memukul!” demikian pula saat anak menjambak, saya memilih berkata, “Jangan menjambak!” sehingga anak tahu bahwa hal-hal tersebut memiliki namanya sendiri dan anak (maupun orang tua) pun jadi tidak perlu menebak-nebak sebenarnya apa yang terjadi.

Maksud saya begini.

Katakan ada dua anak, A dan B. Nah, di rumah, si A dinasihati mamanya agar jangan nakal, dalam hal ini si A dinasihati agar tidak memukul. Lalu si B, di rumahnya dia dinasihati agar tidak nakal, yaitu agar tidak menjambak.

Pada suatu hari mereka bertengkar lalu si B memukul si A. Si A bilang, “Jangan nakal!” yang artinya Jangan Memukul. Si B berkata, “Aku ngga nakal!!” yang artinya Aku Tidak Menjambak. Dalam hal ini mereka berdua benar.

Lalu si A mengadukan si B kepada mamanya. “Mama, si B nakal padaku!” Ingat, artinya di sini si B memukul. Sehingga makna kalimat si A adalah, “Mama, si B memukul aku.”

Begitu pula si B mengadu pada mamanya. “Mama, masa si A bilang saya nakal. Padahal saya tidak nakal kepadanya, Ma!” Sekali lagi, arti nakal bagi si B adalah menjambak. Terjemahan makna yang dikandung kalimat si B adalah, “Mama, masa si A bilang saya menjambak. Padahal saya tidak menjambaknya, Ma!”

Keesokan harinya, bertengkarlah itu mama-mama karena ingin membela anaknya. Ah, Anda yang memiliki anak-anak yang sudah sekolah pasti mengertilah seperti apa kemungkinan yang terjadi. Macam cerita sinetron begitu mungkin, entahlah. Tapi kira-kira semacam ini.

Mama A: “Heh, Bu Anu, anak Ibu nakal banget sih? Masa anak saya dinakalin. Punya anak tuh diajarin yang bener dong!” Mama si B tidak mau kalah.

Mama B: “Enak aja kalo ngomong. Jelas-jelas anak saya tidak nakal! Bu Inu kalo bicara dipikir dulu!”

Dan pertengkaran pun berlanjut tanpa satu pihak pun yang mau mengalah ataupun mengaku salah.

Dan boleh dibilang, memang tidak ada yang salah. Atau dua-duanya salah. Toh tidak ada yang tahu bentuk kenakalan apa yang dilakukan masing-masing anak.

Mengapa saya bilang tidak ada yang salah? Karena si anak memang tidak melakukan yang dituduhkan. Dan mengapa dua-duanya salah. Karena masing-masing ibu memberikan parameter berbeda tentang ‘nakal.’ Dari situlah masalah muncul. Karena kata ‘nakal’ sangatlah abstrak.

Kalau ada anak yang tidak patuh, apa namanya? Anak nakal.

Anak yang suka menyakiti teman apa pun caranya; menjambak, memukul, menendang, mendorong, mencakar; apa namanya? Anak nakal.

Anak yang tidak tahu sopan santun, apa namanya? Nakal.

Anak yang sering membolos? Nakal.

Anak yang mencontek? Nakal.

Absurd.

Dalam seminarnya (yang tidak saya hadiri, tentu saja, hehe. Hanya saya dengarkan audionya), Jack Canfield, co-creator buku best seller Chicken Soup, mengungkapkan bahwa otak kita menangkap ‘image’ alias gambar apabila diberi perintah. Di dalam rekaman audio tersebut, Pak Canfield mengajak peserta seminarnya untuk memejamkan mata dan ‘melihat’ gambar apa yang muncul saat beliau mengucapkan sebuah kalimat.

“Saya tidak melihat seekor gajah yang berlari.”

“Saya tidak suka anjing.”

Terdengar tawa para peserta seminar karena dalam pikiran mereka, justru gambar gajah dan anjinglah yang muncul, sekalipun mungkin muncul hanya dalam hitungan detik.

Demikian otak kita dan otak anak-anak kita. Saat kita berkata, “Jangan berlari!” “Jangan ribut!” “Jangan menjitak!” “Jangan bla..bla..bla..!” justru kata kedualah yang muncul dalam benak mereka dan justru itulah yang memicu mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak kita larang tersebut.

Lalu bagaimana mengatasinya?

Dalam sebuah Lomba Guru Teladan yang pernah saya ikuti beberapa tahun yang lalu, makalah yang saya susun berkaitan dengan hal ini. Judulnya “NLP dalam Kelas” Sebenarnya saya lebih ingin memakai judul “Jangan Berkata Jangan” tapi kok jadi kayak lagu Justin Bieber Never Say Never.

Dalam makalah tersebut, salah satu yang saya bahas adalah masukan bagi guru tentang bagaimana agar nasihatnya dilakukan para anak didik, yaitu dengan mengganti kalimat perintah negatif (kalimat yang menggunakan kata ‘tidak,’ ‘jangan’) dengan kalimat positif.

Contoh yang saya berikan misalnya, “Jangan lari-larian di kelas” menjadi “Tolong jalan saja di dalam ruangan. Boleh berlari saat di luar ruangan.” “Jangan mencontek!” menjadi “Ayo kerjakan sendiri!” “Jangan buang sampah di sini!” menjadi “Buang sampah di keranjang sampah.” dan banyak lagi.

Bapak Penguji waktu itu sempat mengerjai saya juga, dengan mengetes secara spontan kira-kira kalimat apa yang saya ucapkan apabila terjadi sesuatu di kelas secara tiba-tiba. Memang butuh latihan yang terus-menerus untuk menjadi sangat kreatif dengan kalimat yang kita ucapkan. Syukurlah saat itu saya sudah cukup terlatih menggunakan kalimat perintah positif.

Caranya sebenarnya mudah. Coba ingat-ingat. Saat kita tidak ingin anak kita memanjat-manjat gorden, misalnya, apa yang sebenarnya kita ingin anak kita lakukan? Mungkin menggambar? Atau bermain di luar? Atau bermain di kebun bersama dengan teman?

Maka gunakanlah hal-hal tersebut sebagai perintahnya. Misalnya, “Yuk, bermain di luar saja.” Atau, “Menggambar saja yuk!” sehingga anak tahu apa yang kita harapkan darinya.

Kalau kita berkata, “Jangan ‘manjat gorden!” lalu apa dong? Anak akan bingung harus melakukan apa dan kecenderungan yang terjadi adalah anak tersebut mencari kegiatan ‘kreatif’ lain yang ujung-ujungnya Anda sebut ‘nakal.’ Apakah itu yang Anda harapkan? Hm. Jangan-jangan Anda termasuk orang kuno juga. Hehe.

Maka, berhenti berkata ‘Nakal’ dan ‘Ucapkan kalimat positif.’

Pastikan bermanfaat.

Salam,

Jeng Mar.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun