Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Seno Gumira Ajidarma, Jakarta Jakarta, dan Surat dari Palmerah

27 Juni 2010   05:17 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_178641" align="alignleft" width="313" caption="Seno Gumira Ajidarma penulis Surat dari Palmerah di Jakarta Jakarta (sumber:pusatbahasa.diknas.go.id)"][/caption] DENGAN MUDAH, ketika membaca judul catatan ini, kita menghubungkannya sebagai: Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah sastrawan-jurnalis yang pernah bekerja di majalah Jakarta Jakarta (JJ) dan rutin menulis semacam editorial dengan judul Surat dari Palmerah (SdP). SGA, siapa yang tak kenal? Ia lahir di Boston 19 Juni 1958—besar di kota pelajar: Yogyakarta. Ia termasuk salah seorang sastrawan negeri ini yang sangat [malah sangat-sangat] produktif menerbitkan karya—istimewanya, dalam karya-karya itu berani pula mengungkap fakta yang tak berani diungkap oleh jurnalis—karena larangan dari penguasa. ”Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara,” tulisnya. Banyak cerpen-cerpen SGA yang diangkat dari fakta-fakta jurnalisme. Soal Timor Timur dulu misalnya. Fakta tentang penyiksaan militer kepada rakyat Timur Timur tentu saja sulit tercetak di koran-koran, pastilah disensor oleh rezim yang berkuasa waktu itu, kalau pun tidak kena auto-sensor dari redaksi, demi keberlanjutan ”dapur perusahaan”. Tentang itu dibukukan SGA dalam ”Saksi Mata”—yang berisikan cerpen-cerpen berlatar Timor Timur lengkap dengan penderitaan rakyatnya di bawah Indonesia. SGA pernah menjadi jurnalis di JJ—sampai berkala itu tak terbit lagi pada Desember 1999. Apakah majalah JJ ini? Sangat sedikit referensi yang bisa dibaca di internet. Ketika saya ketik di halaman wikipedia.org, bahkan ensiklopedia online milik umat ini pun tak punya data tentang itu. Data yang lumayan ada di koleksikemalaatmojo.blogspot.com. Di blog ini disebutkan: Majalah JJ “Lama” muncul pertama kali pada Oktober 1980. Diterbitkan oleh Yayasan Loh Jinawi. Alamat Redaksi: Jl. Merdeka Barat No. 20, Jakarta Pusat. Ini adalah Majalah Keluarga yang terbit bulanan. Pemimpin Umum/Perusahaan: Dra. Boedi Lestari. Pemimpin Redaksi/Penaggung Jawab: Naning Pranoto. Managing Editor: Ade Zaenal Muharram. Lalu, setelah “beralih” ke Kelompok Kompas-Gramedia (KKG), majalah ini diubah menjadi Majalah Berita Bergambar. Penerbitnya masih disebut Yayasan Loh Jinawi. Tapi alamat redaksinya pindah ke: Jl. Palmerah Selatan No. 3, Jakarta 10270. Susunan pengelola Jakarta-Jakarta ”Baru” pun berubah, kecuali pemimpin umumnya. Susunan pengelola Jakarta-Jakarta "Baru" adalah Pemimpin Umum/Perusahaan: Dra. Budi Lestari. Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Noorca M. Massardi. Redaktur Pelaksana: Yudhistira ANM Massardi; Seno Gumira Ajidarma. Redaktur Pengelola: Kurniawan Junaedhie. Wakil: Dharnoto. Sebagai lengkap disebut majalah, JJ juga punya editorial. Yang lazimnya memuat pandangan redaksi tentang berbagai hal yang lagi hangat. Uniknya editorial JJ ditangan SGA menjadi seperti sepucuk surat—lengkap dengan tanggal kirim dan tanda-tangan pengirim. Bagai seorang seseorang yang dikirim kepada seseorang yang akrab disapanya ”Bung” atau kadangkala ”Mbak”. Bahasanya juga ringan. Tak perlu berkerut kening membacanya. Namanya, seperti yaang sudah disinggung di awal SdP—bisa jadi merujuk pada alamat redaksi yang berada di Jalan Palmerah [Selatan]—tempat dimana KKG berada. SdP pertama kali muncul pada Januari 1996. SdP kaya kritik. Humor. Satire. Atau apalagi namanya itu? Ia menyentil penguasa—dan bisa jadi juga kita. Dalam ”Politik dan Dasi” misalnya SGA menulis: ”Bung, Sebenarnya kita memang sering bertemu. Saya sering melihat Anda di TV. Waduh, gaga betul Anda di sana Bung. Anda memakai dasi. Betul-betul dasi. Dasi mencekik leher yang dulu sering kita ledek-ledek itu. Masih ingatkah Anda Bung, kita sering menertawakan orang-orang yang memakai jas dan dasi ketika udara begitu panas di siang hari ini?” SGA disini jelas menyindir orang-orang yang dulu mengkritik pada kekuasaan, tapi setelah duduk menjadi penguasa, malah sifatnya sama seperti penguasa yang dikritiknya dulu—bisa-bisa jadi lebih parah. Kritik itu dilengkapi pula lagi dengan: ”NB [hampir setiap SdP dilengkap dengan NB atawa nota bene]: Ngomong-ngomong Bung, kalau Anda tampil di TV, kenapa Anda sering berbohong? Apakah Anda berpolitik Bung?” SGA dengan SdP banyak menyinggung soal kekuasaan yang korup, yang hipokrit [dalam ”Topeng Kekuasaan” misalnya], tentang sejarah yang sering dikaburkan [dalam De Atjehers disebutkan tentang fakta-fakta perang Aceh], dan lain-lain. Keseluruhan SdP yang pernah terbit—bahkan yang tak terbit karena auto sensor redaksi—diterbitkan dalam ”Surat dari Palmerah; Indonesia dalam Politik Mehong: 1996-1999, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Dalam buku ini juga diterbitkan wawancara dengan Romo I Sandyawan prihal siapa dibalik kerusuhan [juga perkosaan] yang terjadi di bulan Mei 1998—yang menurutnya sengaja dan terorganisir. Akh, andai JJ masih ada, pasti kita dikirimi surat dari SGA secara berkala. Tentang situasi mutakhir bangsa ini. Hm, saya rindu membacanya. [*] NB: Dan apa hubungannya dengan ulang tahun Jakarta? kurasa ini majalah yang pertama memakai nama Jakarta, tidak sekali bahkan dua: Jakarta Jakarta--saya tak bisa membayangkan ada majalah dengan pengulangan nama kota: Medan Medan misalnya. Layaknyalah Jakarta tak melupakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun